Rabu, 07 Mei 2014

HD3+ Camera

HD3+ Camera: GoPro HD 3 Camera in silver. You can take this camera to 40 meter deep under water.



Find this cool stuff here: http://zocko.it/LB3BF

Jumat, 02 Mei 2014

Hari Pendidikan 2014

Ini hari kita orang memperingati Hari Pendidikan Nasional (seperti logat timur ya . . .)
Photo; sombaDebata

Kenapa timur, karena di timur Indonesia menurut saya tersimpan harta yang sangat besar bagi negeri ini, tidak hanya budaya, tetapi alamnya menyimpan kekayaan yang sangat banyak sekali, dan di hari pendidikan ini saya ingin menulis dan mengingatkan bahwa sebenarnya praktik-praktik kolonialisme dengan gayanya yang baru masih berjalan di negeri ini terutama di timur Indonesia.

Papua, pernah kah kita tahu disana ada eksplorasi tambang yang sangat besar sekali? Menurut finance detik com (http://finance.detik.com/read/2012/03/19/075553/1870501/4/tambang-emas-freeport-di-papua-terbesar-di-dunia) , situs ini mengutip hasil survey dari Thompson Reuters dan Metals Economics Group yang dilansir CNBC, Senin (19/3/2012) dimana hasil dari survey ini juga menyebutkan bahwa cadangan emas yang dimiliki oleh perusahaan tambang ini hingga 2012 adalah Rp1.329 triliun. Lebih mirisnya lagi sejak kontrak generasi kedua pada tahun 1991 yang berakhir pada 2021 perusahaan ini malah mendapatkan hak perpanjangan lagi sebanyak 2 x 10 tahun yang berarti kontrak mereka akan berakhir di 2041.

Mungkin anda bertanya, apa hubungan freeport dan hari pendidikan hari ini?

Freeport hanya satu dari sekian banyak praktik kolonialisme yang diterapkan pihak luar di negeri ini, sepintas mungkin kita hanya berpikir inikan hanya praktik bisnis semata, apa hubungan nya dengan pendidikan. Banyak sebenarnya fakta sejarah mengenai ini, tetapi akan terlalu panjang jika kita runut lagi ke belakang. Intinya adalah, kita adalah negara dengan sumber daya alam terlengkap di dunia dan juga memiliki cadangan yang cukup sebagai sebuah bangsa dengan kekayaan alamnya, tetapi karena keterbatasan pemikiran para pemimpin kita dahulu hingga saat ini kita hanya menjadi pemilik kekayaan alam tersebut dengan mendapatkan hanya beberapa persen keuntungan saja, yang mengolah dan menikmati keuntungan hasil kekayaan alam kita tersebut adalah negara-negara luar yang menanamkan modalnya di negeri ini, seperti freeport.

Tidak terbatas pada hal itu saja ternyata, mungkin menjadi pemilik akan memiliki sedikit kebanggan bagi kita tetapi ternyata, kita juga menjadi buruh bagi penanam-penanam modal asing di negeri ini untuk mengolah hasil alam kita sendiri dimana keuntungan terbesarnya tidak lari ke negeri kita melainkan ke negeri penanam modal tersebut. Banyaknya ketersediaan tenaga buruh di negeri ini lah yang menjadi keuntungan kedua dari penanam modal asing tersebut, buruh disini saya artikan sebagai manusia Indonesia yang hanya maksimal tamatan SMA (sekolah menengah atas) dimana dalam perundang-undangan tidak layak mendapatkan hak dan kewajiban seperti halnya para pekerja profesional.

Memang jika kita kaji, kata buruh itu selalu identik dengan pekerjaan kasar yang tidak memerlukan skill atau keahlian dimana juga dalam undang-undang kita diartikan mereka tidak layak mendapatkan hak dan kewajiban layaknya para pekerja profesional lainnya. Dengan celah inilah pihak asing yang menanamkan modalnya di negeri ini bermain dalam bidang politik negeri kita, jika dilihat lagi di negeri ini dimana ada kegiatan industri baik dalam skala kecil maupun besar selalu kita dapati daerah tersebut memiliki sarana dan prasarana yang buruk sekali terutama untuk bidang pendidikan. Sebuah hal yang sangat kontras, tetapi ternyata sangat masuk akal, karena jika daerah yang industrinya sangat besar sekali memiliki sarana dan prasarana yang sangat baik terutama bidang pendidikan maka secara otomatis pihak industri tersebut akan kekurangan tenaga buruh yang dapat mereka bayar dengan sangat murah sekali karena kualifikasi pendidikan yang rendah.

Sebagai ilustrasi saya akan ambil dua daerah di negeri ini, yang pertama adalah Papua, dengan kondisi freeport yang saya ceritakan di awal tadi yang pada 2017 akan memasuki masa setengah abad beroperasinya, dengan masa yang sangat lama ini ternyata tidak membawa perubahan yang sangat besar pada masyarakat Papua secara keseluruhan, tingkat pendidikan daerah ini sangat rendah sekali, sangat kontras jika dilihat dari hasil alam yang mereka miliki, bahkan kehidupan ekonomi masyarakat Papua juga mayoritas didukung oleh masyarakat luar yang berdagang di daerah ini, seperti transmigran dan para pedagang yang khusus datang ke daerah ini. Kondisi seperti ini jika dilihat secara teliti ternyata sangat mendukung usaha freeport di tanah Papua, karena jika tingkat pendidikan masyarakat sudah maju, maka tingkat perekonomian juga akan maju, dan bisa saja perusahaan besar seperti freeport akan diambil alih pemerintah daerah Papua di masa yang akan datang.

Satu daerah lagi yang belakangan menjadi perhatian di negeri ini adalah Banten di Jawa Barat, menjadi perhatian karena kehidupan para pemimpinnya sangat kontras sekali dengan kondisi sarana prasarana dan masyarakatnya. Seperti kita ketahui bersama daerah ini memiliki sentra industri yang juga besar, dimana salah satunya adalah Krakatau Steel, dengan penerimaan daerah yang begitu besar sangat kontras sekali melihat kenyataan sarana dan prasarana yang ada disana, terlebih lagi sekolah-sekolah yang ada di daerah ini semua kondisinya memprihatinkan, wajar jika kita berpikir sama seperti di Papua, daerah ini memang di setting menjadi terbelakang agar masyarakatnya tetap berminat menjadi buruh kasar di pabrik-pabrik yang ada di daerah ini, dan tidak memimpikan untuk memiliki pendidikan yang tinggi agar dapat memajukan kehidupan dan daerahnya nanti.

Memang sejak negeri kita ini merdeka pada tahun '45 banyak juga berdiri perusahaan-perusahaan nasional yang sampai sekarang juga masih ada, tetapi dengan lemahnya undang-undang di negeri ini malah menciptakan celah dimana tercipta sebuah situasi yang sangat memprihatinkan sekali bagi dunia pendidikan kita. Dan untuk merubah itu semua kita butuh pemimpin, anggota legislatif, aparatur negara yang sevisi dan memiliki ideologi kebangsaan di atas segalanya, tanpa berpikir pesimis saya rasa masa itu lambat laun akan datang juga dan bangsa ini kembali menjadi bangsa yang besar (benar-benar besar) di dunia ini.

SEKIAN

Sabtu, 26 April 2014

LIHAT! Betapa Mudahnya Menjadi Guru Saat Ini.

Tulisan ini adalah reaksi pribadi saya atas munculnya kasus pelecehan seksual yang ada akhir-akhir ini di lingkungan sekolah dengan sedikit pengalaman saya yang pernah bekerja bersama beberapa tenaga pengajar asing di kota Medan.
https://www.min2tbalai.com

Saya berusaha untuk membahas secara umum dalam tulisan ini dimana saya akan berusaha untuk mencari titik masalah sederhana yang sudah berada di dalam dunia pendidikan kita hingga saat ini. Adapun mengenai munculnya kasus pelecehan seksual seperti yang sedang marak di pemberitaan saat ini saya tidak akan membahasnya karena menurut pendapat saya kasus seperti itu hanyalah dampak kecil dari ketidakpedulian (atau dapat dikatakan acuh) pihak berwenang di dunia pendidikan negeri ini terhadap hal yang menjadi masalah utama, yang saya juga akan menyebut nya masalah yang sederhana karena menurut saya, untuk menyelesaikan masalah ini bukanlah hal yang rumit.

Jauh kebelakang jika kita melihat garis sejarah negeri ini, sekolah atau institusi pendidikan pertama sekali yang resmi ada di negeri ini adalah sekolah yang didirikan atau dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda (ELS atau HIS setara Sekolah Dasar, HBS setara Sekolah Menengah Pertama, MULO setara dengan Sekolah Menengah Atas), dimana pada saat itu sekolah-sekolah ini didirikan untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak para pejabat dan pekerja Belanda ataupun keturunan Eropa lainnya yang sedang berada di negeri ini. Pada masa pertama periode ini, pribumi yang dapat masuk ke sekolah-sekolah ini hanyalah anak-anak raja, bupati ataupun pejabat pribumi yang paling tinggi pangkatnya. Lalu bagaimana dengan pribumi yang berada di lapisan menengah ke bawah? Menurut catatan yang ada sebenarnya kaum muslim di nusantara telah melakukan kegiatan pendidikan jauh sebelum pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah mereka di negeri ini, kaum muslim di negeri ini telah membuat semacam sekolah sederhana yang berbasiskan agama, dimana seluruh kegiatannya dilakukan di langgar, musholla dan mesjid, pada perkembangannya menjadi pondokan yang kita kenal sebagai pesantren. Jadi secara tidak resmi, kaum muslim di Indonesia telah mendahului mendirikan sekolah di negeri ini sebelum pemerintah kolonial memikirkannya, hanya saja sekolah ini tidak bersifat resmi.

Bagaimana dengan tenaga pengajarnya? Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda di negeri ini pertama sekali mendatangkan tenaga pengajarnya langsung dari negeri Belanda dengan tentu saja memiliki izin resmi untuk melakukan pengajaran dari pemerintah Belanda kala itu, dan salah satu sekolah yang didirikan Belanda di negeri ini diawal adalah sekolah keguruan (kweekschool) yang akan menghasilkan tenaga-tenaga pengajar baru untuk selanjutnya menjadi tenaga pengajar di negeri ini, jadi pemerintah Belanda tidak perlu lagi mendatangkan tenaga pengajar jauh-jauh dari negeri Belanda yang tentu saja akan memakan cost (biaya) yang sangat besar sekali. Untuk sekolah yang berbasiskan agama seperti yang saya tulis sebelumnya, yang dilakukan golongan muslim, mereka hanya akan mempercayakan anak-anak mereka diajarkan di langgar, musholla ataupun mesjid oleh tenaga pendidik yang sudah pernah melaksanakan ibadah terakhir dalam rukun islam yakni Haji atau setidaknya telah khatam Qur’an dan tafsirnya, yang tentu saja kala itu Haji bukan saja gelar yang menandakan bahwa seseorang sudah pernah pergi ke tanah suci, tetapi juga orang-orang yang sudah menguasai seluruh isi kitab suci Al-Qur’an.

Kondisi seperti diatas terus bertahan hingga masa pergerakan nasional dan masa periode pendirian sekolah-sekolah nasional yang dilakukan oleh pribumi seperti yang sudah sangat kita kenal salah satunya yakni Taman Siswa yang didirikan oleh bapak pendidikan negeri Soewardi Soerjaningrat atau lebih kita kenal Ki Hadjar Dewantara yang juga adalah menteri pendidikan pertama negeri ini. Pada masa itu banyak putra-putri negeri ni yang sebelumnya telah mengenyam pendidikan di sekolah kolonial mulai tergugah untuk menjadi tenaga pengajar bagi pribumi menengah ke bawah yang tidak pernah merasakan pendidikan secara resmi kala itu. Salah satu perkumpulan yang terkenal untuk ini selain Taman Siswa adalah perkumpulan Budi Utomo, sebuah perkumpulan yang didirikan oleh pribumi-pribumi yang bersekolah di sekolah kedokteran Belanda STOVIA. Pada saat ini izin atau legalisasi untuk menjadi tenaga pengajar tidak lah menjadi penting lagi karena alasan nasionalisme bangsa yang sedang dibangun untuk sebuah titik yaitu kemerdekaan. Dari jaman ini juga lahir Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo).

Berakhirnya periode pergerakan nasional, masuklah kita pada masa revolusi hingga masa awal kemerdekaan bangsa ini. Pada masa ini, Negara ini masih seperti bayi yang baru lahir, semuanya dibangun dan ditata dari nol termasuk dunia pendidikan. Sekolah-sekolah yang berdiri sebelum masa kemerdekaan mulai didata dan beberapa dialihkan menjadi sekolah nasional (sekolah negeri) begitu juga dengan tenaga pengajarnya, semua di data dan disertifikasi sebagai tenaga pengajar yang sah. Tetapi upaya ini ternyata belum berdampak maksimal, karena ternyata kondisinya adalah; begitu banyaknya anak-anak Indonesia yang ingin bersekolah kala itu ditambah lagi Presiden kala itu menetapkan sebuah gerakan di dunia pendidikan yakni “Pemberantasan Buta Aksara di Seluruh Indonesia”. Banyaknya minat atas sekolah, ditambah lagi banyaknya didirikan gedung-gedung sekolah baru di Indonesia ternyata tidak diiringi dengan jumlah tenaga pengajar yang seimbang alias kurang. Kondisi inilah yang menyebabkan akhirnya dibuat sebuah sistem sekolah keguruan dari tingkatan sekolah menengah pertama (dahulu disebut Sekolah Guru Bawah), sekolah menengah atas (dahulu disebut Sekolah Guru Atas) ada juga beberapa tingkatan lainnya. Sistem ini menciptakan tenaga pengajar baru yang lebih terorientasi, contoh untuk sekolah guru bawah; lulusannya sudah dapat menjadi pegawai negeri sipil untuk mengajar di tingkatan sekolah dasar, begitu juga dengan sekolah guru atas dimana lulusan nya langsung mengabdi sebagai pegawa negeri dan mengajar untuk sekolah menengah pertama. Sistem ini berakhir sekitar tahun 1958-1959 seiring mulai terpenuhinya kebutuhan tenaga pengajar di negeri ini kala itu.

Dari tiga masa sejarah negeri ini yang berusaha saya ringkaskan diatas memperlihatkan bahwa tiap-tiap masa memiliki permasalahan yang berbeda juga di dunia pendidikan kita tetapi satu benang merah yang dapat kita tangkap adalah, semua tenaga pengajar pada masa-masa yang saya jabarkan diatas adalah tenaga pengajar resmi baik secara administratif hukum Negara maupun budaya dan mereka diakui secara  sosial di tengah masyarakat adalah sebagai guru atau tenaga pengajar. Mereka bukanlah orang-orang yang secara tiba-tiba muncul lalu menasbihkan dirinya sebagai tenaga pengajar atau guru di tengah masyarakat.

Sebelum saya masuk pada tahap akhir di masa saat ini ada baiknya saya menyambung periode sejarah pendidikan di Negara ini sehabis periode ’58-’59 tadi. Memasuki masa ‘60an dunia pendidikan kita telah mencapai posisi yang sangat gemilang sekali, dimana bertumbuhnya sekolah-sekolah baru, semakin cemerlangnya dunia-dunia kampus kala itu (ini juga didukung oleh banyaknya beasiswa yang dikucurkan pemerintah kala itu atas bantuan luar negeri untuk putra-putri terbaik bangsa ini). Pada masa-masa ini jugalah kita menjadi pengekspor tenaga-tenaga pengajar handal untuk Asia Tenggara dimana Malaysia pada saat itu menjadi peminat terbanyak atas tenaga-tenaga pengajar dari Indonesia untuk bekerja sebagai Guru di negeri mereka. Dengan prestasi seperti itu tentu kita tidak perlu lagi membahas bagaiamana bentuk psikologis tenaga-tenaga pengajar kita kala itu, walaupun dari segi materi sebenarnya mereka tidaklah terlalu sejahtera bahkan cenderung biasa saja, tetapi itu tidak pernah menjadi persoalan yang sangat besar sekali kala itu. Kondisi cemerlang ini dapat dikatakan berlangsung lama hingga memasuki tahun ‘90an.

Di awal ‘90an pemerintah kala itu mulai fokus kembali dengan pendidikan dalam negeri dengan mengusung pendidikan wajib 9 tahun yang berlanjut hingga 12 tahun.

Hingga sampai masa reformasi terjadi perubahan dimana hampir seluruh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang ada di seluruh Indonesia berubah status menjadi Universitas dengan alasan pemerintah kala itu agar lulusannya lebih dapat bersaing tidak hanya didunia pendidikan saja. Dari titik ini sebenarnya kita sudah dipusingkan oleh ulah pemerintah, bagaimana seseorang yang memang memasuki sebuah institut keguruan untuk menjadi guru malah disiapkan agar dapat bersaing untuk tidak hanya menjadi guru. Jika diambil positinya tentu sangat bagus sekali, tetapi apakah efektif? Jawabannya mungkin dapat kita lihat pada saat undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ini dikeluarkan, dimana intinya adalah; AKTA4 tidak berlaku sebagai syarat untuk menjadi tenaga pengajar, sebagai gantinya maka diadakan program sertifikasi atau biasa kita kenal sekarang PPG (Program Profesi Guru) dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru).

Dalam bentuk sederhananya mungkin dapat saya simpulkan seperti ini, program sertifikasi guru yang menghapuskan AKTA4 sebagai satu-satunya surat resmi tenaga pengajar dilepaskan untuk dapat menaungi banyaknya tenaga pengajar terutama di institusi pendidikan swasta yang tidak memiliki AKTA4 hingga saat itu. Apakah ini solusi terbaik? Bagi mayoritas tenaga pengajar ternyata keputusan ini dianggap sangat baik, karena program ini menjamin adanya pendapatan tambahan yang berasal dari kas Negara bagi guru-guru yang lulus program ini. Menurut pendapat dan pengalaman saya, program ini malah menciptakan sebuah generasi tenaga pengajar yang sangat materialistis dan melupakan unsur psikologis dari sebuah pengajaran, dengan iming-iming adanya pendapatan tambahan tersebut beberapa kasus yang ada malah guru menelantarkan kewajibannya di dalam kelas demi tercapainya syarat-syarat administratif untuk lolos seleksi program ini. Memang setelah lulus seleksi, guru-guru ini akan mendapatkan pendidikan lagi selama satu tahun untuk dapat secara resmi memegang status guru tersertifikasi ini, tetapi kondisi yang ada selama satu tahun mereka hanya diajarkan administratif menjadi seorang tenaga pengajar dan minus pengajaran psikologi pendidikan. Sangat jauh sekali dari kondisi untuk mendapatkan AKTA4, dimana selama 4 tahun mahasiswa dididik untuk mendapatkannya.

Jika saya bertanya kepada anda, lebih percaya mana anda pada guru yang telah dibina selama 4 tahun bahkan lebih tanpa berpikir ada insentif bagi mereka daripada seorang guru yang dididik satu tahun agar sah menjadi guru dan mendapatkan insentif extra untuk itu? Jawabannya hanya kembali kepada anda.

Lalu kaitannya dengan kondisi saat ini dan kasus pelecehan seksual apa? Maaf jika penjabaran saya terlalu panjang tetapi diakhir ini saya hanya ingin mengutarakan bahwa terlepas dilema yang kita alami dalam dunia pendidikan kita sendiri pasca reformasi, ternyata dunia pendidikan kita juga telah dimasuki kalau boleh saya katakana orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini terutama adalah warga Negara asing. Apakah dengan munculnya kasus pelecehan seksual yang terjadi belakangan ini membuat anda bertanya, apakah warga Negara asing yang mengajar di Indonesia ini adalah benar-benar guru yang juga memiliki izin resmi dari negaranya yang menyatakan bahwa dia adalah seorang guru, tidak usah kita bermimpi negeri ini menyiapkan standarisasi tenaga pengajar asing di negeri ini, saya rasa untuk sementara yang kita patut pertanyakan adalah apakah mereka memang guru yang diakui di Negara asalnya? Untuk jawaban ini saya punya pengalaman selama lebih tiga tahun di sebuah sekolah berstatus national plus di kota medan dimana sekolah ini memiliki kurikulum internasional dan menggabungkannya ke dalam kurikulum nasional (maka dari itu disebut national plus) walaupun pada kenyataannya semuanya berjalan sendiri-sendiri.

Pengalaman selama lebih dari tiga tahun membuat saya menyaksikan bagaimana hampir lebih dari sepuluh orang tenaga pengajar asing disekolah tersebut adalah bukan bersertifikasi layaknya guru di negeri ini, bahkan mirisnya dari semua yang ada hanya satu orang saja yang bergelar master, selebihnya hanyalah diploma, dan bahkan mayoritas dari mereka adalah diploma1 yang jika disetarakan, tidak lain adalah lulusan sma saja. Dengan tidak memiliki sertifikasi untuk menjadi guru pihak sekolah mempercayakan muridnya kepada orang-orang asing ini, yang kita tahu sendiri dari segi budaya sangat berbeda sekali dengan kita (contoh kecil adalah pakaian; pernah ada suatu kejadian di taman kanak-kanak sekolah ini, seorang murid memegang payudara gurunya yang tenaga asing dan berkata milk, milk, milk, hingga diketahui ternyata guru asing tersebut mengajar tanpa menggunakan bra dan bahkan bajunya hampir dalam keadaan terbuka di bagian dadanya). Alih-alih saya mempertanyakan sertifikasi mereka sebagai seorang guru, ternyata saya mendapati fakta bahwa mereka semua tidak memiliki visa sebagai seorang pekerja/tenaga pengajar di sini, beberapa kasus jika sekolah mengadakan event secara umum beberapa tenaga asing tersebut malah bersembunyi ketakutan jika ada pihak imigrasi yang mengetahui keberadaan mereka.

Saya berharap ini hanya terjadi pada sekolah tempat saya pernah mengajar dahulu yang mungkin hanya berstatus national plus dan tidak terjadi pada sekolah yang memang bertaraf internasional seperti tempat terjadinya kasus pelecehan seksual itu terjadi. Tetapi tetap kita harus mempertanyakan keabsahan secara resmi mengenai status-status tenaga asing yang menjadi pengajar di Negara kita ini, karena pada mereka kita titipkan generasi penerus bangsa kita. AKTA4 dan sertifikasi mungkin hal yang sangat membingungkan bagi masyarakat awam, tetapi intinya seorang tenaga pengajar harus memiliki psikologi pendidikan yang baik dan harus didukung juga oleh moral dan etika yang baik pula. Kita juga harus berkaca pada pengalaman negeri ini, bagaimana mungkin bangsa belanda yang dahulu menjajah kita mampu mengirimkan guru-guru terbaik kita untuk mengajar di negeri ini, hingga masa-masa dimana kita menjadi pengimpor tenaga pengajar di wilayah Asia Tenggara, lalu saat ini kita malah memiliki warga Negara asing menjadi tenaga pengajar dan tidak memiliki keabsahan sebagai tenaga pengajar. Saya harap tulisan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kita tentang sejarah dan kondisi dunia kependidikan kita saat ini.


SEKIAN

Senin, 30 Januari 2012

Media & Politik

Media bukan lagi tempat melihat, membaca dan mendengar tentang kebenaran tampaknya. Media sudah benar-benar ikut dalam kelimpungan yang dihadapi negeri ini. Media bukan lagi pencerah, seperti halnya ketika Guttenberg menciptakan mesin cetak pertama kali dan mengawali masa Renaissance di eropa kala itu.

Media kita saat ini sudah seragam, dan semakin telanjang mata dalam melakukan penyeragaman terhadap masalah-masalah yang tidak krusial seperti yang sebenarnya banyak terjadi di negeri ini. Media juga menjadi alat penyerang terhadap kelompok-kelompok tertnentu. Ini dapat terjadi semata karena media juga telah dikuasai oleh orang atau sekelompok orang yang tidak lagi memperhatikan fungsi dasar dari media terhadap masyarakat dan negara ini.

Dua paragraf di atas adalah tulisan saya pada januari 2012, dan ini saya tambahkan sedikit sesuai dengan perkembangan yang terjadi saat ini di Indonesia sekaligus saya akan merubah judul dari tulisan ini.

Sedikit jauh ke belakang, semangat Guttenberg ketika menciptakan alat cetak tulisan massal adalah bagaimana pemikiran yang kala itu dikekang oleh tirani bernama Vatikan dapat terbebaskan dan bangsa Eropa mampu berpikir sesuai kemampuannya masing-masing dan tidak dibatasi oleh doktrin lagi. Semangat ini juga lah yang menjadi salah satu penyebab lahirnya gerakan Renaissance di Eropa. Dengan kata lain dapat saya simpulkan, media adalah wadah kemerdekaan berpikir dari para pemikir.

Masih segar di ingatan kita mungkin situasi menjelang pemilihan legislatif 9 April kemarin, media khususnya televisi jika kita telaah baik-baik tidak menjalankan fungsinya lagi sebagai pemberi informasi yang umum dan aktual, media berubah menjadi sarana promosi politik untuk sebuah acara bernama PEMILU, salah? tentu tidak, karena ternyata dalam peraturan KPU No.15 tahun 2013 tentang perubahan peraturan KPU No.1 tahun 2013 mengenai pedoman pemilihan anggota DPD, DPRD dan DPR media memang boleh melaksanakan kampanye dari partai-partai politik yang ikut PEMILU. Tetapi dalam peraturan itu juga diatur jelas mengenai tatacara yang adil dalam melaksanakan nya, contoh; bahwa kepala pemerintahan hingga bawahan nya yang terkait dikatakan tidak boleh menjadi tokoh dalam sebuah iklan layanan masyarakat selama 6 (enam) bulan sebelum PEMILU legislatif diadakan. Dan masih merujuk pada peraturan ini juga, dikatakan bahwa fungsi pengawasan media pada saat kampanye diserahkan kepada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.

Apakah semua peraturan tadi berjalan dengan baik?
Coba ingat bagaimana iklan kampanye politik dari partai penguasa kemarin, yang seluruh isi kampanyenya adalah program kebijakan pemerintah yang diplesetkan seolah menjadi kebijakan partai tersebut di dalam pemerintahan. Dalam peraturan KPU tadi mungkin ini tidak melanggar sanksi, tetapi ketika diakhir muncul pemimpin negara yang tidak lain adalah ketua umum partai tersebut mengajak masyarakat untuk memilih partainya, apakah secara etika anda tidak bertanya? Layakkah atau tidak, meskipun perundang-undangan tidak mengatakannya sebagai sebuah pelanggaran.

Untuk contoh kasus lain menurut saya adalah adanya distorsi fungsi media yang dilakukan pemilik media yang juga menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dari partainya.
Kita pasti sudah tahu siapa-siapa saja mereka, yang sangat kontras sekali dan akan saya angkat disini tanpa ada unsur memihak adalah pemilik grup MNC yang menjadi calon wakil presiden dari partai HANURA. Pada saat sebelum pemilihan legislatif dilaksanakan pasangan ini menjadi tokoh yang selalu seliweran pada tiap-tiap program media yang ditayangkan oleh grup MNC, baik itu dari acara berita (news), debat politik, gosip bahkan hingga ke tayangan hiburan seperti acara musik dan sinetron. Bahkan skenario sinetron Tukang Bubur Naik Haji saat itu sekonyong berubah hingga muncul pasangan calon presiden dan calon wakilnya dari partai HANURA tersebut. Fungsi media yang semestinya melakukan pemberitaan adil, hiburan yang memang bentuknya menghibur akhirnya terdistorsi tanpa disadari menjadi tayangan kampanye politik terselubung. Walaupun ternyata pada hasil hitung cepat kemarin partai tersebut menjadi partai kedua terendah dan kemungkinan akan terdiskualifikasi.

Dari kejadian demi kejadian tersebut dapat kita lihat bagaimana dampak buruk dari kepemilikan media dalam bentuk bersama atau lazim disebut grup. Media yang seharusnya menjadi sumber informasi terpercaya untuk publik berubah menjadi corong politik dari tokoh dan partai-partai politik yang ada. Karena hampir mayoritas bisnis media yang ada di Indonesia ternyata dimiliki oleh tokoh-tokoh politik negeri ini.

Mengutip pendapat dan hasil riset dari William L. Rivers - Jay W. Jensen - Theodore Peterson pada buku mereka yang sudah disadur ke dalam bahasa Indonesia "MEDIA MASSA dan MASYARAKAT MODERN" pada edisi kedua ini mereka mengatakan bahwa kebebasan pers bukanlah hal yang menjadi tujuan sebenarnya dalam bernegara atau berdemokrasi melainkan kebebasan publik mendapatkan informasi lah yang harus menjadi supremasi dalam bernegara khususnya berdemokrasi. Jika kebebasan pers menjadi tujuan, maka tirani media lah yang terbentuk menjadi otoritas resmi informasi, sebaliknya, jika kebebasan publik mendapatkan informasi yang menjadi tujuan, maka cita-cita bernegara dalam bentuk demokrasi akan dapat terwujud dengan rakyat atau publik menjadi penguasanya. Bukankah filsafat tua demokrasi mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan?

SEKIAN.

Kamis, 08 September 2011

tangan-tangan tuhan yang terkontaminasi (semua dengan huruf kecil)


-->
Judulnya nanti saja, lagi tidak terlintas di benak ini, mungkin setelah titik terakhir dari tulisan ini akan muncul ide, apa judul dari tulisan ini.
Inti dari tulisan ini tetap pada rasa muak saya akan apa yang dialami negeri ini. Setelah hampir usai periode kedua dari kepemimpinan beliau atas negeri ini, bukan malah kemajuan yang dialami negeri ini, yang ada malah kehancuran yang menerus. Dari mata yang mampu melihat, kuping yang mampu mendengar dan hati yang hampir kehilangan nurani ini aku ingin membunuh para pemimpin di negeri ini yang ku anggap menjadi racun dan bakteri penyakit atas kerusakan semua ini. Tidak ada lagi yang dapat diselamatkan dari negeri ini bagiku, guru yang dulu mulia tanpa tanda jasanya, hakim yang dulu seperti dewa satu tingkat di bawah tuhan, bahkan pemuka agama yang hanya sejengkal berjarak dengan nabi dan tuhan, sekarang sudah terjangkit penyakit kronis.
Guru sudah tidak mampu memberi praktik bagi muridnya untuk menggugu dan menirukan apa yang positif untuk diberikan kepada mereka. Guru sekarang hanya subjek yang mampu memerankan kehedonisan akan perannya sebagai manusia. Mencari duniawi lebih dominan dilakukan para pahlawan pendidikan ini sekarang. Lebih banyak guru yang hanya mampu memberikan ke-stresan kepada anak-anak muridnya sekarang yang kelak kedepan nya akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika guru tak mampu lagi memberikan proses menggugu dan menirukan hal yang positif untuk pembelajaran, lantas pada siapa murid-murid itu kelak akan mendapatkan proses tersebut.
Kembali ke dalam rumah, keluarga juga mayoritas sekarang hanya memberikan pelajaran akan pentingnya materi diatas segalanya. Keluarga di negeri ini hanya mampu bertopang dagu kepada guru dan institusinya untuk dapat menciptakan anak-anak yang berbakti dan berguna bagi mereka kelak. Tanpa sadar akan keteladanan dalam keluarga lah yang mampu menjadi dasar akan tingkah laku anak-anak di negeri ini. Seperti pepatah, air cucuran takkan jatuh jauh dari atapnya. Apa yang diharapkan seorang ayah koruptor kepada anaknya kelak? Menjadi ustadz? Wowww . . . mungkin ada yang seperti itu, tetapi tentunya dengan tidak meminjam tauladan ayahnya sudah pasti.
Lantas apa kabarnya para pemuka agama di negeri ini? Hmmmm 11-12 menurut istilah di pasaran, sama rusaknya. Tidak pantas sebenarnya saya mengklaim kerusakan para pemuka agama di negeri ini, tetapi at least saya tidak munafik dengan ikut-ikutan memuji-muji kerusakan yang disebabkan oleh para pemuka agama ini. Sudah tidak kasat mata lagi banyak sekali terjadi permasalahan di negeri ini yang disebabkan oleh ulah para pemuka agama yang demi kepentingan pribadi dan kelompoknya rela menjual agama yang notabene adalah milik tuhan. Muslim sebagai mayoritas penghuni negeri ini adalah salah satu contoh yang factual atas tulisan saya ini. Muslim yang dahulu ketika pada era Soeharto sangat diawasi dengan membuat banyak badan-badan yang seolah mengayomi mereka tetapi pada kenyataannya hanyalah alat untuk mengendalikan kemayoritasan umat muslim yang banyak dan beragam. Pendirian MUI sebagai majelis yang menaungi seluruh aliran yang ada pada umat muslim di negeri ini pada era Soeharto hanyalah sebuah wadah untuk menyeragamkan suara dan kesepakatan sekaligus sebagai alat propaganda pemerintah kala itu untuk melancarkan kekuasaannya dari jalur politik, dimana sebagai agama mayoritas umat muslim tentunya sangat strategis sebagai suara-suara politik, jika dapat dikendalikan akan menjadi senjata ampuh, sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan maka umat muslim akan menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah kala itu.
Coba lihat beberapa kejadian factual akhir-akhir ini, penetapan hari raya idul fitri yang sejatinya harus dilakukan pemerintah melalui badan-badan yang berwenang di dalamnya terkesan malah mengombang-ambingkan umat diantara kebimbangan. Belum lagi banyaknya ormas-ormas yang mengatasnamakan umat muslim yang rutin melakukan sweeping dan tindakan pembersihan yang bertentangan dengan syariat umat muslim. Kerutinan mereka melakukan tindakannya yang selalu dibarengi dengan kekerasan akhirnya hanya mencerminkan bahwa muslim adalah agama yang identik dengan kekerasan untuk menegakkan nya. Dimana posisi pemerintah yang seharusnya mengayomi dan memberikan rasa keamanan dan kenyamanan dengan memberikan rasa keadilan kepada rakyatnya?
Lantas dimana letak peran pemerintah dengan kedua masalah yang sebelumnya saya tulis diatas, dunia pendidikan yang saya representasikan oleh peran guru, dan dunia hukum yang saya wakili oleh hakim sebagai puncak dari keputusan peradilan. Dan dimana posisi pemerintah dalam melihat peran keluarga dan juga dampak dari sistem perekonomian yang kita anut sekarang?
Pemerintah hanya terkesan lepas tangan, pemerintah hanya mementingkan pencitraan jika dihubungkan dengan situasi politik yang ada. Pemerintah kian hari hanya akan menambah pencitraan bahwa mereka tidak mampu mengurusi negeri ini. Bagi-bagi kekuasaan demi jabatan dan uang untuk pertarungan politik kelak masih kental terasa akhir-akhir ini. Coba lihat betapa cepatnya Nazaruddin tertangkap, lalu kemana pemerintah ketika masih banyak tersangka-tersangka koruptor lain yang masih bebas berkeliaran di luar negeri ini. Kemana kasus-kasus hukum yang lama? Semua dengan cepat tergantikan oleh berita-berita yang menghebohkan negeri ini, kian lama kian terlihat bahwa pemerintah malah menciptakan kekacauan yang terstruktur dan sistematis dengan jadwal yang sangat ketat untuk menciptakan anemia di tengah masyarakatnya sendiri akan kasus kasus dan bahkan tugas utama pemerintah di negeri ini yang sekarang memimpin dan akan segera berakhir di 2014 nanti.
Dan di akhir tulisan ini saya akan memberitahukan siapa algojo dari pemerintah saat ini untuk membuat semua program kekacauan nya berhasil. Bukan aparat, bukan agen rahasia bahkan bukan pembunuh bayaran untuk membunuh musuh-musuh politik mereka. MEDIA, media adalah senjata ampuh pemerintah saat ini, dengan terkesan seolah mengontrol pemerintah dengan cara-cara pemberitaan mereka masing-masing. Satu persatu masalah besar di negeri ini dilupakan oleh media dengan cara mencari berita-berita yang baru dan jika dilihat ada yang terkesan dibuat-buat. Tidak ada lagi media seperti dahulu di era soeharto yang berani menentang arus. Media saat ini rutin bergandeng tangan dengan pemerintah dengan cara yang halus dan menurut cara mereka. Pada akhirnya, masyarakat muak dengan negeri ini dan hanya mengurusi kehidupan mereka sendiri tanpa sadar bahwa negeri ini hanya akan hancur dibawah kendali pemerintah yang kerdil dan mengkerdilkan masyarakatnya sendiri.
Guru yang tidak lagi memberikan proses menggugu dan meniru kepada muridnya, hakim yang tidak lagi memberikan rasa adil hingga pemuka agama yang menjadi alat politik dan terpecah belah dari umatnya. Semua tangan tuhan di dunia yang ada di negeri ini telah rusak dan terkontaminasi. Apa solusinya? Apa pemecahan dari semua masalah ini? Jawab sendiri saja ya . . . . . akupun bingung jawabnya huahahahahaha

Selasa, 31 Agustus 2010

Sinabung

Setelah kurang lebih empat abad lamanya gunung ini tertidur akhirnya beberapa hari belakangan ini mulai menampakkan gejala-gejala keaktifannya kembali. Gunung aktif yang dulu masih berstatus biasa-biasa saja sekarang telah menjadi gunung yang harus diawasi dan siaga selalu.


Gunung Sinabung terletak di wilayah kabupaten karo propinsi Sumatera Utara sekitar dua jam dari ibukota propinsi ini (Medan). Ada dua pucuk gunung yang terdapat di daerah ini, yaitu gunung Sibayak dan gunung Sinabung, kedua gunung ini masih dalam keadaan status aktif bahkan jika hanya dilihat oleh kasat mata (masih mengeluarkan gas belerang). Tetapi entah apa yang membuat pemerintah daerah setempat berlaku biasa dan tenang menyikapi hal ini, pemerintah terlihat kurang aktif dengan tidak adanya pos pemantau di daerah gunung aktif tersebut hingga turunnya tim dari pusat, dan bahkan daerah ini tidak memiliki badan penanggulangan bencananya sendiri dan terpaksa mengundang tim penanggulangan bencana provinsi.

Kekonyolan tidak hanya didapati di daerah saja, sehari sebelum gunung Sinabung mengeluarkan asap dan debu sebagai gejala awal dari meletusnya sebuah gunung berapi seorang staff ahli presiden malah mengabarkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari gejala-gejala yang ditunjukkan oleh gunung sinabung (asal bapak senang aja), mungkin alam sudah bosan akhirnya esok hari gunung Sinabung mengeluarkan asap dan muntahan debu menjulang tinggi ke langit (yang terakhir setinggi 2000 meter) dan dapat dipastikan mengganggu lalu lintas penerbangan udara di sekitar propinsi ini.

Masalah klasik yang muncul selanjutnya adalah masalah penanganan bencana yang selalu terkesan terlambat, karena saling lepas tanggung jawab pemerintah baik di daerah maupun pusat.

SEKIAN

Jumat, 20 Agustus 2010

65 Tahun Usianya

Selamat ulang tahun kepada negara ini saya ucapkan, 65 tahun kalau kita bandingkan kepada usia manusia saya rasa bukanlah usia untuk anak-anak lagi, tapi kalau kita membandingkan nya kepada kehidupan bernegara memang belum ada apa-apanya.
image from www.beritagar.com
Telah 65 tahun usia proklamasi kemerdekaan negara ini ternyata, tidak terasa. dan 12 tahun pula usia reformasi yang membawa perubahan dan mengiringi pemerintahan yang ada saat ini. Skeptis nya adalah, merdekakah kita? kalau pun merdeka, dari apa? secara skeptis saya tetap memegang teguh pendirian bahwa saya belum merasa merdeka di negara ini, negara tempat saya lahrkan. Ok kalau kita sebut negara ini telah terbebas dari terbelenggu kolonialisme dengan segala kerugiannya, tetapi apa itu kolonialisme? bukankah kita saat ini sedang dalam masa kolonialisasi dalam segala bidang? ingat! baru sekarang kita membicarakan batik sebagai suatu warisan budaya dan mulai dibiasakan kembali untuk dipakai hanya sekedar membuat agar batik tetap eksis di negeri ini, membuatnya eksis setelah beberapa hasil budaya bangsa ini banyak yang telah diklaim oleh tetangga sendiri, yang notabene adalah saudara serumpun juga sebelum adanya periode bernegara seperti saat sekarang ini.

Lain masalah budaya lain pula masalah kaum muda bangsa ini, tahun ini begitu banyak kaum muda di negeri ini yang mengukir prestasi langsung di kancah internasional. Sebut saja tim olimpiade sains kita dengan prestasi imternasional nya, tetapi yang paling mencengangkan prestasi salah satu artis muda di negeri ini yang mengukir prestasi dengan video syur nya, prestasinya adalah; ia mampu memasuki headline beberapa surat kabar internasional, dan kabar beritanya salahsatu artis film syur paman sam merasa tertarik untuk menjadikan nya lawan main pada filmnya yang akan segera dibuat. Belum habis prestasi video syur, muncul lagi satu video, yakni video lypsinc duo maut dgn hits 'keong racun'. Bayangkan! hanya karena pemberitaan yang heboh di media masa dan dunia maya, duo lypsinc ini mendapatkan beasiswa belajar dari pemimpin daerahnya.

Serba miris membayangkan keadaan Indonesia saat ini,

Bayangkan, menjelang hari kemerdekaan negara ini 3 pejabat di dinas kelautan dan perikanan ditangkap patroli perbatasan negara tetangga Malaysia, menurut pihak negara ini mereka tidak melanggar batas sama sekali, yang menjadi pertanyaan jika tidak melanggar batas kenapa patroli perbatasan Malaysia bisa menangkap mereka dan tanpa perlawanan senjata sama sekali? yang lebih mengherankan, negosiasi masalah 3 pejabat tersebut akhirnya terpecahkan dengan menukar 3 pejabat negara ini dengan 7 orang nelayan yang mengambil ikan di daerah laut Indonesia (dengan kata lain pencuri). Pihak pemerintah mengatakan ini bukan barter tahanan, melainkan memperhatikan unsur kemanusiaan para nelayan yang melaksanakan puasa dan juga tidak adanya cukup bukti (kalau tidak ada cukup bukti kenapa bisa dilakukan penangkapan) nah lo . . .

Belum lagi jika kita membicarakan masalah kekerasan teroris di negara ini, menjelang puasa kemarin, salah satu ulama besar (Abu Bakar Ba'asyir) ditangkap untuk kesekian kalinya dengan alasan menjadi ketua dan penyandang dana salah satu kelompok teroris di negara ini. Ok Ba'asyir ditangkap, tapi apa pemerintah melihat disekolah-sekolah dan dikampus-kampus telah banyak pengkaderan untuk melahirkan suatu bentuk aliran keras dalam beragama yang dapat memunculkan teroris-teroris baru di negara ini? terlalu banyak yang menutup mata, bayangkan seorang ulama seperti Ba'asyir mampu membakar semangat jemaatnya dan lalu melakukan aktivitas untuk meneror pemerintahan di negara ini selama beberapa tahun belakangan ini (itu masih hasil analisa sementara). Sejatinya ia telah dihadapkan ke depan hukum dengan alasan subversif di era pemerintahan Soeharto dulu, sebelum dilakukan penahanan akhirnya ia berhasil lolos dan diketahui telah menjadi guru agama di negara tetangga Malaysia, disitulah ia bertemu individu-individu yang kelak menjadi pelaku teror di negeri ini dan kawasan asia tenggara lainnya. Letak kemirisan nya adalah mengapa ba'asyir dengan kasus hukumnya dahulu dapat masuk kembali ke negeri ini tanpa ada perhatian yang serius dari pemerintah, setelah muncul banyak kasus pemboman barulah ia ditangkap.

SEKIAN