HD3+ Camera: GoPro HD 3 Camera in silver. You can take this camera to 40 meter deep under water.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LB3BF
indoneschie
manusia ada karena pemikirannya
Rabu, 07 Mei 2014
Jumat, 02 Mei 2014
Hari Pendidikan 2014
Ini hari kita orang memperingati Hari Pendidikan Nasional (seperti logat timur ya . . .)
Photo; sombaDebata |
Kenapa timur, karena di timur Indonesia menurut saya tersimpan harta yang sangat besar bagi negeri ini, tidak hanya budaya, tetapi alamnya menyimpan kekayaan yang sangat banyak sekali, dan di hari pendidikan ini saya ingin menulis dan mengingatkan bahwa sebenarnya praktik-praktik kolonialisme dengan gayanya yang baru masih berjalan di negeri ini terutama di timur Indonesia.
Papua, pernah kah kita tahu disana ada eksplorasi tambang yang sangat besar sekali? Menurut finance detik com (http://finance.detik.com/read/2012/03/19/075553/1870501/4/tambang-emas-freeport-di-papua-terbesar-di-dunia) , situs ini mengutip hasil survey dari Thompson Reuters dan Metals Economics Group yang dilansir CNBC, Senin (19/3/2012) dimana hasil dari survey ini juga menyebutkan bahwa cadangan emas yang dimiliki oleh perusahaan tambang ini hingga 2012 adalah Rp1.329 triliun. Lebih mirisnya lagi sejak kontrak generasi kedua pada tahun 1991 yang berakhir pada 2021 perusahaan ini malah mendapatkan hak perpanjangan lagi sebanyak 2 x 10 tahun yang berarti kontrak mereka akan berakhir di 2041.
Mungkin anda bertanya, apa hubungan freeport dan hari pendidikan hari ini?
Freeport hanya satu dari sekian banyak praktik kolonialisme yang diterapkan pihak luar di negeri ini, sepintas mungkin kita hanya berpikir inikan hanya praktik bisnis semata, apa hubungan nya dengan pendidikan. Banyak sebenarnya fakta sejarah mengenai ini, tetapi akan terlalu panjang jika kita runut lagi ke belakang. Intinya adalah, kita adalah negara dengan sumber daya alam terlengkap di dunia dan juga memiliki cadangan yang cukup sebagai sebuah bangsa dengan kekayaan alamnya, tetapi karena keterbatasan pemikiran para pemimpin kita dahulu hingga saat ini kita hanya menjadi pemilik kekayaan alam tersebut dengan mendapatkan hanya beberapa persen keuntungan saja, yang mengolah dan menikmati keuntungan hasil kekayaan alam kita tersebut adalah negara-negara luar yang menanamkan modalnya di negeri ini, seperti freeport.
Tidak terbatas pada hal itu saja ternyata, mungkin menjadi pemilik akan memiliki sedikit kebanggan bagi kita tetapi ternyata, kita juga menjadi buruh bagi penanam-penanam modal asing di negeri ini untuk mengolah hasil alam kita sendiri dimana keuntungan terbesarnya tidak lari ke negeri kita melainkan ke negeri penanam modal tersebut. Banyaknya ketersediaan tenaga buruh di negeri ini lah yang menjadi keuntungan kedua dari penanam modal asing tersebut, buruh disini saya artikan sebagai manusia Indonesia yang hanya maksimal tamatan SMA (sekolah menengah atas) dimana dalam perundang-undangan tidak layak mendapatkan hak dan kewajiban seperti halnya para pekerja profesional.
Memang jika kita kaji, kata buruh itu selalu identik dengan pekerjaan kasar yang tidak memerlukan skill atau keahlian dimana juga dalam undang-undang kita diartikan mereka tidak layak mendapatkan hak dan kewajiban layaknya para pekerja profesional lainnya. Dengan celah inilah pihak asing yang menanamkan modalnya di negeri ini bermain dalam bidang politik negeri kita, jika dilihat lagi di negeri ini dimana ada kegiatan industri baik dalam skala kecil maupun besar selalu kita dapati daerah tersebut memiliki sarana dan prasarana yang buruk sekali terutama untuk bidang pendidikan. Sebuah hal yang sangat kontras, tetapi ternyata sangat masuk akal, karena jika daerah yang industrinya sangat besar sekali memiliki sarana dan prasarana yang sangat baik terutama bidang pendidikan maka secara otomatis pihak industri tersebut akan kekurangan tenaga buruh yang dapat mereka bayar dengan sangat murah sekali karena kualifikasi pendidikan yang rendah.
Sebagai ilustrasi saya akan ambil dua daerah di negeri ini, yang pertama adalah Papua, dengan kondisi freeport yang saya ceritakan di awal tadi yang pada 2017 akan memasuki masa setengah abad beroperasinya, dengan masa yang sangat lama ini ternyata tidak membawa perubahan yang sangat besar pada masyarakat Papua secara keseluruhan, tingkat pendidikan daerah ini sangat rendah sekali, sangat kontras jika dilihat dari hasil alam yang mereka miliki, bahkan kehidupan ekonomi masyarakat Papua juga mayoritas didukung oleh masyarakat luar yang berdagang di daerah ini, seperti transmigran dan para pedagang yang khusus datang ke daerah ini. Kondisi seperti ini jika dilihat secara teliti ternyata sangat mendukung usaha freeport di tanah Papua, karena jika tingkat pendidikan masyarakat sudah maju, maka tingkat perekonomian juga akan maju, dan bisa saja perusahaan besar seperti freeport akan diambil alih pemerintah daerah Papua di masa yang akan datang.
Satu daerah lagi yang belakangan menjadi perhatian di negeri ini adalah Banten di Jawa Barat, menjadi perhatian karena kehidupan para pemimpinnya sangat kontras sekali dengan kondisi sarana prasarana dan masyarakatnya. Seperti kita ketahui bersama daerah ini memiliki sentra industri yang juga besar, dimana salah satunya adalah Krakatau Steel, dengan penerimaan daerah yang begitu besar sangat kontras sekali melihat kenyataan sarana dan prasarana yang ada disana, terlebih lagi sekolah-sekolah yang ada di daerah ini semua kondisinya memprihatinkan, wajar jika kita berpikir sama seperti di Papua, daerah ini memang di setting menjadi terbelakang agar masyarakatnya tetap berminat menjadi buruh kasar di pabrik-pabrik yang ada di daerah ini, dan tidak memimpikan untuk memiliki pendidikan yang tinggi agar dapat memajukan kehidupan dan daerahnya nanti.
Memang sejak negeri kita ini merdeka pada tahun '45 banyak juga berdiri perusahaan-perusahaan nasional yang sampai sekarang juga masih ada, tetapi dengan lemahnya undang-undang di negeri ini malah menciptakan celah dimana tercipta sebuah situasi yang sangat memprihatinkan sekali bagi dunia pendidikan kita. Dan untuk merubah itu semua kita butuh pemimpin, anggota legislatif, aparatur negara yang sevisi dan memiliki ideologi kebangsaan di atas segalanya, tanpa berpikir pesimis saya rasa masa itu lambat laun akan datang juga dan bangsa ini kembali menjadi bangsa yang besar (benar-benar besar) di dunia ini.
SEKIAN
Sabtu, 26 April 2014
LIHAT! Betapa Mudahnya Menjadi Guru Saat Ini.
Tulisan ini
adalah reaksi pribadi saya atas munculnya kasus pelecehan seksual yang ada
akhir-akhir ini di lingkungan sekolah dengan sedikit pengalaman saya yang
pernah bekerja bersama beberapa tenaga pengajar asing di kota Medan.
https://www.min2tbalai.com |
Saya berusaha
untuk membahas secara umum dalam tulisan ini dimana saya akan berusaha untuk
mencari titik masalah sederhana yang sudah berada di dalam dunia pendidikan
kita hingga saat ini. Adapun mengenai munculnya kasus pelecehan seksual seperti
yang sedang marak di pemberitaan saat ini saya tidak akan membahasnya karena
menurut pendapat saya kasus seperti itu hanyalah dampak kecil dari
ketidakpedulian (atau dapat dikatakan acuh) pihak berwenang di dunia pendidikan
negeri ini terhadap hal yang menjadi masalah utama, yang saya juga akan
menyebut nya masalah yang sederhana karena menurut saya, untuk menyelesaikan
masalah ini bukanlah hal yang rumit.
Jauh kebelakang
jika kita melihat garis sejarah negeri ini, sekolah atau institusi pendidikan
pertama sekali yang resmi ada di negeri ini adalah sekolah yang didirikan atau
dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda (ELS atau HIS setara
Sekolah Dasar, HBS setara Sekolah
Menengah Pertama, MULO setara dengan
Sekolah Menengah Atas), dimana pada saat itu sekolah-sekolah ini didirikan
untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak para pejabat dan pekerja Belanda
ataupun keturunan Eropa lainnya yang sedang berada di negeri ini. Pada masa
pertama periode ini, pribumi yang dapat masuk ke sekolah-sekolah ini hanyalah
anak-anak raja, bupati ataupun pejabat pribumi yang paling tinggi pangkatnya.
Lalu bagaimana dengan pribumi yang berada di lapisan menengah ke bawah? Menurut
catatan yang ada sebenarnya kaum muslim di nusantara telah melakukan kegiatan
pendidikan jauh sebelum pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah mereka
di negeri ini, kaum muslim di negeri ini telah membuat semacam sekolah sederhana
yang berbasiskan agama, dimana seluruh kegiatannya dilakukan di langgar,
musholla dan mesjid, pada perkembangannya menjadi pondokan yang kita kenal
sebagai pesantren. Jadi secara tidak resmi, kaum muslim di Indonesia telah
mendahului mendirikan sekolah di negeri ini sebelum pemerintah kolonial
memikirkannya, hanya saja sekolah ini tidak bersifat resmi.
Bagaimana dengan
tenaga pengajarnya? Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda di negeri ini
pertama sekali mendatangkan tenaga pengajarnya langsung dari negeri Belanda
dengan tentu saja memiliki izin resmi untuk melakukan pengajaran dari
pemerintah Belanda kala itu, dan salah satu sekolah yang didirikan Belanda di
negeri ini diawal adalah sekolah keguruan (kweekschool)
yang akan menghasilkan tenaga-tenaga pengajar baru untuk selanjutnya menjadi
tenaga pengajar di negeri ini, jadi pemerintah Belanda tidak perlu lagi
mendatangkan tenaga pengajar jauh-jauh dari negeri Belanda yang tentu saja akan
memakan cost (biaya) yang sangat besar sekali. Untuk sekolah
yang berbasiskan agama seperti yang saya tulis sebelumnya, yang dilakukan
golongan muslim, mereka hanya akan mempercayakan anak-anak mereka diajarkan di
langgar, musholla ataupun mesjid oleh tenaga pendidik yang sudah pernah
melaksanakan ibadah terakhir dalam rukun islam yakni Haji atau setidaknya telah
khatam Qur’an dan tafsirnya, yang tentu saja kala itu Haji bukan saja gelar
yang menandakan bahwa seseorang sudah pernah pergi ke tanah suci, tetapi juga
orang-orang yang sudah menguasai seluruh isi kitab suci Al-Qur’an.
Kondisi seperti
diatas terus bertahan hingga masa pergerakan nasional dan masa periode
pendirian sekolah-sekolah nasional yang dilakukan oleh pribumi seperti yang
sudah sangat kita kenal salah satunya yakni Taman Siswa yang didirikan oleh
bapak pendidikan negeri Soewardi Soerjaningrat atau lebih kita kenal Ki Hadjar
Dewantara yang juga adalah menteri pendidikan pertama negeri ini. Pada masa itu
banyak putra-putri negeri ni yang sebelumnya telah mengenyam pendidikan di
sekolah kolonial mulai tergugah untuk menjadi tenaga pengajar bagi pribumi
menengah ke bawah yang tidak pernah merasakan pendidikan secara resmi kala itu.
Salah satu perkumpulan yang terkenal untuk ini selain Taman Siswa adalah
perkumpulan Budi Utomo, sebuah perkumpulan yang didirikan oleh pribumi-pribumi
yang bersekolah di sekolah kedokteran Belanda STOVIA. Pada saat ini izin atau
legalisasi untuk menjadi tenaga pengajar tidak lah menjadi penting lagi karena alasan
nasionalisme bangsa yang sedang dibangun untuk sebuah titik yaitu kemerdekaan.
Dari jaman ini juga lahir Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara,
Tjipto Mangunkusumo).
Berakhirnya
periode pergerakan nasional, masuklah kita pada masa revolusi hingga masa awal
kemerdekaan bangsa ini. Pada masa ini, Negara ini masih seperti bayi yang baru
lahir, semuanya dibangun dan ditata dari nol termasuk dunia pendidikan.
Sekolah-sekolah yang berdiri sebelum masa kemerdekaan mulai didata dan beberapa
dialihkan menjadi sekolah nasional (sekolah negeri) begitu juga dengan tenaga
pengajarnya, semua di data dan disertifikasi sebagai tenaga pengajar yang sah.
Tetapi upaya ini ternyata belum berdampak maksimal, karena ternyata kondisinya
adalah; begitu banyaknya anak-anak Indonesia yang ingin bersekolah kala itu
ditambah lagi Presiden kala itu menetapkan sebuah gerakan di dunia pendidikan
yakni “Pemberantasan Buta Aksara di
Seluruh Indonesia”. Banyaknya minat atas sekolah, ditambah lagi banyaknya
didirikan gedung-gedung sekolah baru di Indonesia ternyata tidak diiringi
dengan jumlah tenaga pengajar yang seimbang alias kurang. Kondisi inilah yang
menyebabkan akhirnya dibuat sebuah sistem sekolah keguruan dari tingkatan
sekolah menengah pertama (dahulu disebut
Sekolah Guru Bawah), sekolah menengah atas (dahulu disebut Sekolah Guru Atas) ada juga beberapa tingkatan
lainnya. Sistem ini menciptakan tenaga pengajar baru yang lebih terorientasi,
contoh untuk sekolah guru bawah; lulusannya sudah dapat menjadi pegawai negeri
sipil untuk mengajar di tingkatan sekolah dasar, begitu juga dengan sekolah
guru atas dimana lulusan nya langsung mengabdi sebagai pegawa negeri dan
mengajar untuk sekolah menengah pertama. Sistem ini berakhir sekitar tahun
1958-1959 seiring mulai terpenuhinya kebutuhan tenaga pengajar di negeri ini
kala itu.
Dari tiga masa
sejarah negeri ini yang berusaha saya ringkaskan diatas memperlihatkan bahwa
tiap-tiap masa memiliki permasalahan yang berbeda juga di dunia pendidikan kita
tetapi satu benang merah yang dapat kita tangkap adalah, semua tenaga pengajar
pada masa-masa yang saya jabarkan diatas adalah tenaga pengajar resmi baik
secara administratif hukum Negara maupun budaya dan mereka diakui secara sosial di tengah masyarakat adalah sebagai
guru atau tenaga pengajar. Mereka bukanlah orang-orang yang secara tiba-tiba
muncul lalu menasbihkan dirinya sebagai tenaga pengajar atau guru di tengah
masyarakat.
Sebelum saya
masuk pada tahap akhir di masa saat ini ada baiknya saya menyambung periode
sejarah pendidikan di Negara ini sehabis periode ’58-’59 tadi. Memasuki masa
‘60an dunia pendidikan kita telah mencapai posisi yang sangat gemilang sekali,
dimana bertumbuhnya sekolah-sekolah baru, semakin cemerlangnya dunia-dunia
kampus kala itu (ini juga didukung oleh banyaknya beasiswa yang dikucurkan
pemerintah kala itu atas bantuan luar negeri untuk putra-putri terbaik bangsa
ini). Pada masa-masa ini jugalah kita menjadi pengekspor tenaga-tenaga pengajar
handal untuk Asia Tenggara dimana Malaysia pada saat itu menjadi peminat
terbanyak atas tenaga-tenaga pengajar dari Indonesia untuk bekerja sebagai Guru
di negeri mereka. Dengan prestasi seperti itu tentu kita tidak perlu lagi
membahas bagaiamana bentuk psikologis tenaga-tenaga pengajar kita kala itu,
walaupun dari segi materi sebenarnya mereka tidaklah terlalu sejahtera bahkan
cenderung biasa saja, tetapi itu tidak pernah menjadi persoalan yang sangat
besar sekali kala itu. Kondisi cemerlang ini dapat dikatakan berlangsung lama
hingga memasuki tahun ‘90an.
Di awal ‘90an
pemerintah kala itu mulai fokus kembali dengan pendidikan dalam negeri dengan
mengusung pendidikan wajib 9 tahun yang berlanjut hingga 12 tahun.
Hingga sampai masa
reformasi terjadi perubahan dimana hampir seluruh IKIP (Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan) yang ada di seluruh Indonesia berubah status menjadi
Universitas dengan alasan pemerintah kala itu agar lulusannya lebih dapat
bersaing tidak hanya didunia pendidikan saja. Dari titik ini sebenarnya kita
sudah dipusingkan oleh ulah pemerintah, bagaimana seseorang yang memang
memasuki sebuah institut keguruan untuk menjadi guru malah disiapkan agar dapat
bersaing untuk tidak hanya menjadi guru. Jika diambil positinya tentu sangat
bagus sekali, tetapi apakah efektif? Jawabannya mungkin dapat kita lihat pada
saat undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ini dikeluarkan,
dimana intinya adalah; AKTA4 tidak berlaku sebagai syarat untuk menjadi tenaga
pengajar, sebagai gantinya maka diadakan program sertifikasi atau biasa kita
kenal sekarang PPG (Program Profesi Guru) dan PLPG (Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru).
Dalam bentuk
sederhananya mungkin dapat saya simpulkan seperti ini, program sertifikasi guru
yang menghapuskan AKTA4 sebagai satu-satunya surat resmi tenaga pengajar
dilepaskan untuk dapat menaungi banyaknya tenaga pengajar terutama di institusi
pendidikan swasta yang tidak memiliki AKTA4 hingga saat itu. Apakah ini solusi
terbaik? Bagi mayoritas tenaga pengajar ternyata keputusan ini dianggap sangat
baik, karena program ini menjamin adanya pendapatan tambahan yang berasal dari
kas Negara bagi guru-guru yang lulus program ini. Menurut pendapat dan
pengalaman saya, program ini malah menciptakan sebuah generasi tenaga pengajar
yang sangat materialistis dan melupakan unsur psikologis dari sebuah pengajaran,
dengan iming-iming adanya pendapatan tambahan tersebut beberapa kasus yang ada
malah guru menelantarkan kewajibannya di dalam kelas demi tercapainya
syarat-syarat administratif untuk lolos seleksi program ini. Memang setelah
lulus seleksi, guru-guru ini akan mendapatkan pendidikan lagi selama satu tahun
untuk dapat secara resmi memegang status guru tersertifikasi ini, tetapi
kondisi yang ada selama satu tahun mereka hanya diajarkan administratif menjadi
seorang tenaga pengajar dan minus pengajaran psikologi pendidikan. Sangat jauh
sekali dari kondisi untuk mendapatkan AKTA4, dimana selama 4 tahun mahasiswa
dididik untuk mendapatkannya.
Jika saya
bertanya kepada anda, lebih percaya mana anda pada guru yang telah dibina
selama 4 tahun bahkan lebih tanpa berpikir ada insentif bagi mereka daripada
seorang guru yang dididik satu tahun agar sah menjadi guru dan mendapatkan
insentif extra untuk itu? Jawabannya hanya kembali kepada anda.
Lalu kaitannya
dengan kondisi saat ini dan kasus pelecehan seksual apa? Maaf jika penjabaran
saya terlalu panjang tetapi diakhir ini saya hanya ingin mengutarakan bahwa
terlepas dilema yang kita alami dalam dunia pendidikan kita sendiri pasca
reformasi, ternyata dunia pendidikan kita juga telah dimasuki kalau boleh saya
katakana orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini terutama adalah
warga Negara asing. Apakah dengan munculnya kasus pelecehan seksual yang
terjadi belakangan ini membuat anda bertanya, apakah warga Negara asing yang mengajar
di Indonesia ini adalah benar-benar guru yang juga memiliki izin resmi dari
negaranya yang menyatakan bahwa dia adalah seorang guru, tidak usah kita
bermimpi negeri ini menyiapkan standarisasi tenaga pengajar asing di negeri
ini, saya rasa untuk sementara yang kita patut pertanyakan adalah apakah mereka
memang guru yang diakui di Negara asalnya? Untuk jawaban ini saya punya
pengalaman selama lebih tiga tahun di sebuah sekolah berstatus national plus di
kota medan dimana sekolah ini memiliki kurikulum internasional dan
menggabungkannya ke dalam kurikulum nasional (maka dari itu disebut national
plus) walaupun pada kenyataannya semuanya berjalan sendiri-sendiri.
Pengalaman
selama lebih dari tiga tahun membuat saya menyaksikan bagaimana hampir lebih
dari sepuluh orang tenaga pengajar asing disekolah tersebut adalah bukan
bersertifikasi layaknya guru di negeri ini, bahkan mirisnya dari semua yang ada
hanya satu orang saja yang bergelar master, selebihnya hanyalah diploma, dan
bahkan mayoritas dari mereka adalah diploma1 yang jika disetarakan, tidak lain
adalah lulusan sma saja. Dengan tidak memiliki sertifikasi untuk menjadi guru
pihak sekolah mempercayakan muridnya kepada orang-orang asing ini, yang kita
tahu sendiri dari segi budaya sangat berbeda sekali dengan kita (contoh kecil
adalah pakaian; pernah ada suatu kejadian di taman kanak-kanak sekolah ini,
seorang murid memegang payudara gurunya yang tenaga asing dan berkata milk,
milk, milk, hingga diketahui ternyata guru asing tersebut mengajar tanpa
menggunakan bra dan bahkan bajunya hampir dalam keadaan terbuka di bagian
dadanya). Alih-alih saya mempertanyakan sertifikasi mereka sebagai seorang
guru, ternyata saya mendapati fakta bahwa mereka semua tidak memiliki visa sebagai
seorang pekerja/tenaga pengajar di sini, beberapa kasus jika sekolah mengadakan
event secara umum beberapa tenaga asing tersebut malah bersembunyi ketakutan
jika ada pihak imigrasi yang mengetahui keberadaan mereka.
Saya berharap
ini hanya terjadi pada sekolah tempat saya pernah mengajar dahulu yang mungkin
hanya berstatus national plus dan tidak terjadi pada sekolah yang memang
bertaraf internasional seperti tempat terjadinya kasus pelecehan seksual itu
terjadi. Tetapi tetap kita harus mempertanyakan keabsahan secara resmi mengenai
status-status tenaga asing yang menjadi pengajar di Negara kita ini, karena
pada mereka kita titipkan generasi penerus bangsa kita. AKTA4 dan sertifikasi
mungkin hal yang sangat membingungkan bagi masyarakat awam, tetapi intinya
seorang tenaga pengajar harus memiliki psikologi pendidikan yang baik dan harus
didukung juga oleh moral dan etika yang baik pula. Kita juga harus berkaca pada
pengalaman negeri ini, bagaimana mungkin bangsa belanda yang dahulu menjajah
kita mampu mengirimkan guru-guru terbaik kita untuk mengajar di negeri ini,
hingga masa-masa dimana kita menjadi pengimpor tenaga pengajar di wilayah Asia
Tenggara, lalu saat ini kita malah memiliki warga Negara asing menjadi tenaga
pengajar dan tidak memiliki keabsahan sebagai tenaga pengajar. Saya harap
tulisan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kita tentang sejarah dan
kondisi dunia kependidikan kita saat ini.
SEKIAN
Label:
2014,
guru,
indonesia,
kekerasan,
orang asing,
pendidikan,
sekolah,
seksual,
tenaga pengajar
Senin, 30 Januari 2012
Media & Politik
Media bukan lagi tempat melihat, membaca dan mendengar tentang kebenaran tampaknya. Media sudah benar-benar ikut dalam kelimpungan yang dihadapi negeri ini. Media bukan lagi pencerah, seperti halnya ketika Guttenberg menciptakan mesin cetak pertama kali dan mengawali masa Renaissance di eropa kala itu.
Media kita saat ini sudah seragam, dan semakin telanjang mata dalam melakukan penyeragaman terhadap masalah-masalah yang tidak krusial seperti yang sebenarnya banyak terjadi di negeri ini. Media juga menjadi alat penyerang terhadap kelompok-kelompok tertnentu. Ini dapat terjadi semata karena media juga telah dikuasai oleh orang atau sekelompok orang yang tidak lagi memperhatikan fungsi dasar dari media terhadap masyarakat dan negara ini.
Dua paragraf di atas adalah tulisan saya pada januari 2012, dan ini saya tambahkan sedikit sesuai dengan perkembangan yang terjadi saat ini di Indonesia sekaligus saya akan merubah judul dari tulisan ini.
Sedikit jauh ke belakang, semangat Guttenberg ketika menciptakan alat cetak tulisan massal adalah bagaimana pemikiran yang kala itu dikekang oleh tirani bernama Vatikan dapat terbebaskan dan bangsa Eropa mampu berpikir sesuai kemampuannya masing-masing dan tidak dibatasi oleh doktrin lagi. Semangat ini juga lah yang menjadi salah satu penyebab lahirnya gerakan Renaissance di Eropa. Dengan kata lain dapat saya simpulkan, media adalah wadah kemerdekaan berpikir dari para pemikir.
Masih segar di ingatan kita mungkin situasi menjelang pemilihan legislatif 9 April kemarin, media khususnya televisi jika kita telaah baik-baik tidak menjalankan fungsinya lagi sebagai pemberi informasi yang umum dan aktual, media berubah menjadi sarana promosi politik untuk sebuah acara bernama PEMILU, salah? tentu tidak, karena ternyata dalam peraturan KPU No.15 tahun 2013 tentang perubahan peraturan KPU No.1 tahun 2013 mengenai pedoman pemilihan anggota DPD, DPRD dan DPR media memang boleh melaksanakan kampanye dari partai-partai politik yang ikut PEMILU. Tetapi dalam peraturan itu juga diatur jelas mengenai tatacara yang adil dalam melaksanakan nya, contoh; bahwa kepala pemerintahan hingga bawahan nya yang terkait dikatakan tidak boleh menjadi tokoh dalam sebuah iklan layanan masyarakat selama 6 (enam) bulan sebelum PEMILU legislatif diadakan. Dan masih merujuk pada peraturan ini juga, dikatakan bahwa fungsi pengawasan media pada saat kampanye diserahkan kepada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Apakah semua peraturan tadi berjalan dengan baik?
Coba ingat bagaimana iklan kampanye politik dari partai penguasa kemarin, yang seluruh isi kampanyenya adalah program kebijakan pemerintah yang diplesetkan seolah menjadi kebijakan partai tersebut di dalam pemerintahan. Dalam peraturan KPU tadi mungkin ini tidak melanggar sanksi, tetapi ketika diakhir muncul pemimpin negara yang tidak lain adalah ketua umum partai tersebut mengajak masyarakat untuk memilih partainya, apakah secara etika anda tidak bertanya? Layakkah atau tidak, meskipun perundang-undangan tidak mengatakannya sebagai sebuah pelanggaran.
Untuk contoh kasus lain menurut saya adalah adanya distorsi fungsi media yang dilakukan pemilik media yang juga menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dari partainya.
Kita pasti sudah tahu siapa-siapa saja mereka, yang sangat kontras sekali dan akan saya angkat disini tanpa ada unsur memihak adalah pemilik grup MNC yang menjadi calon wakil presiden dari partai HANURA. Pada saat sebelum pemilihan legislatif dilaksanakan pasangan ini menjadi tokoh yang selalu seliweran pada tiap-tiap program media yang ditayangkan oleh grup MNC, baik itu dari acara berita (news), debat politik, gosip bahkan hingga ke tayangan hiburan seperti acara musik dan sinetron. Bahkan skenario sinetron Tukang Bubur Naik Haji saat itu sekonyong berubah hingga muncul pasangan calon presiden dan calon wakilnya dari partai HANURA tersebut. Fungsi media yang semestinya melakukan pemberitaan adil, hiburan yang memang bentuknya menghibur akhirnya terdistorsi tanpa disadari menjadi tayangan kampanye politik terselubung. Walaupun ternyata pada hasil hitung cepat kemarin partai tersebut menjadi partai kedua terendah dan kemungkinan akan terdiskualifikasi.
Dari kejadian demi kejadian tersebut dapat kita lihat bagaimana dampak buruk dari kepemilikan media dalam bentuk bersama atau lazim disebut grup. Media yang seharusnya menjadi sumber informasi terpercaya untuk publik berubah menjadi corong politik dari tokoh dan partai-partai politik yang ada. Karena hampir mayoritas bisnis media yang ada di Indonesia ternyata dimiliki oleh tokoh-tokoh politik negeri ini.
Mengutip pendapat dan hasil riset dari William L. Rivers - Jay W. Jensen - Theodore Peterson pada buku mereka yang sudah disadur ke dalam bahasa Indonesia "MEDIA MASSA dan MASYARAKAT MODERN" pada edisi kedua ini mereka mengatakan bahwa kebebasan pers bukanlah hal yang menjadi tujuan sebenarnya dalam bernegara atau berdemokrasi melainkan kebebasan publik mendapatkan informasi lah yang harus menjadi supremasi dalam bernegara khususnya berdemokrasi. Jika kebebasan pers menjadi tujuan, maka tirani media lah yang terbentuk menjadi otoritas resmi informasi, sebaliknya, jika kebebasan publik mendapatkan informasi yang menjadi tujuan, maka cita-cita bernegara dalam bentuk demokrasi akan dapat terwujud dengan rakyat atau publik menjadi penguasanya. Bukankah filsafat tua demokrasi mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan?
SEKIAN.
Kamis, 08 September 2011
tangan-tangan tuhan yang terkontaminasi (semua dengan huruf kecil)
-->
Judulnya nanti saja, lagi tidak
terlintas di benak ini, mungkin setelah titik terakhir dari tulisan ini akan
muncul ide, apa judul dari tulisan ini.
Inti dari tulisan ini tetap
pada rasa muak saya akan apa yang dialami negeri ini. Setelah hampir usai
periode kedua dari kepemimpinan beliau atas negeri ini, bukan malah kemajuan
yang dialami negeri ini, yang ada malah kehancuran yang menerus. Dari mata yang
mampu melihat, kuping yang mampu mendengar dan hati yang hampir kehilangan
nurani ini aku ingin membunuh para pemimpin di negeri ini yang ku anggap
menjadi racun dan bakteri penyakit atas kerusakan semua ini. Tidak ada lagi yang
dapat diselamatkan dari negeri ini bagiku, guru yang dulu mulia tanpa tanda
jasanya, hakim yang dulu seperti dewa satu tingkat di bawah tuhan, bahkan
pemuka agama yang hanya sejengkal berjarak dengan nabi dan tuhan, sekarang
sudah terjangkit penyakit kronis.
Guru sudah tidak mampu memberi
praktik bagi muridnya untuk menggugu dan menirukan apa yang positif untuk
diberikan kepada mereka. Guru sekarang hanya subjek yang mampu memerankan
kehedonisan akan perannya sebagai manusia. Mencari duniawi lebih dominan
dilakukan para pahlawan pendidikan ini sekarang. Lebih banyak guru yang hanya
mampu memberikan ke-stresan kepada anak-anak muridnya sekarang yang kelak
kedepan nya akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika guru tak mampu lagi
memberikan proses menggugu dan menirukan hal yang positif untuk pembelajaran,
lantas pada siapa murid-murid itu kelak akan mendapatkan proses tersebut.
Kembali ke dalam rumah, keluarga juga
mayoritas sekarang hanya memberikan pelajaran akan pentingnya materi diatas
segalanya. Keluarga di negeri ini hanya mampu bertopang dagu kepada guru dan
institusinya untuk dapat menciptakan anak-anak yang berbakti dan berguna bagi
mereka kelak. Tanpa sadar akan keteladanan dalam keluarga lah yang mampu
menjadi dasar akan tingkah laku anak-anak di negeri ini. Seperti pepatah, air
cucuran takkan jatuh jauh dari atapnya. Apa yang diharapkan seorang ayah
koruptor kepada anaknya kelak? Menjadi ustadz? Wowww . . . mungkin ada yang
seperti itu, tetapi tentunya dengan tidak meminjam tauladan ayahnya sudah
pasti.
Lantas apa kabarnya para pemuka agama
di negeri ini? Hmmmm 11-12 menurut istilah di pasaran, sama rusaknya. Tidak pantas
sebenarnya saya mengklaim kerusakan para pemuka agama di negeri ini, tetapi at least saya tidak munafik dengan
ikut-ikutan memuji-muji kerusakan yang disebabkan oleh para pemuka agama ini. Sudah
tidak kasat mata lagi banyak sekali terjadi permasalahan di negeri ini yang
disebabkan oleh ulah para pemuka agama yang demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya rela menjual agama yang notabene adalah milik tuhan. Muslim sebagai
mayoritas penghuni negeri ini adalah salah satu contoh yang factual atas tulisan saya ini. Muslim yang
dahulu ketika pada era Soeharto sangat diawasi dengan membuat banyak
badan-badan yang seolah mengayomi mereka tetapi pada kenyataannya hanyalah alat
untuk mengendalikan kemayoritasan umat muslim yang banyak dan beragam. Pendirian
MUI sebagai majelis yang menaungi seluruh aliran yang ada pada umat muslim di
negeri ini pada era Soeharto hanyalah sebuah wadah untuk menyeragamkan suara
dan kesepakatan sekaligus sebagai alat propaganda pemerintah kala itu untuk
melancarkan kekuasaannya dari jalur politik, dimana sebagai agama mayoritas
umat muslim tentunya sangat strategis sebagai suara-suara politik, jika dapat
dikendalikan akan menjadi senjata ampuh, sebaliknya jika tidak dapat
dikendalikan maka umat muslim akan menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah
kala itu.
Coba lihat beberapa kejadian factual akhir-akhir ini, penetapan hari
raya idul fitri yang sejatinya harus dilakukan pemerintah melalui badan-badan
yang berwenang di dalamnya terkesan malah mengombang-ambingkan umat diantara
kebimbangan. Belum lagi banyaknya ormas-ormas yang mengatasnamakan umat muslim
yang rutin melakukan sweeping dan
tindakan pembersihan yang bertentangan dengan syariat umat muslim. Kerutinan mereka
melakukan tindakannya yang selalu dibarengi dengan kekerasan akhirnya hanya
mencerminkan bahwa muslim adalah agama yang identik dengan kekerasan untuk
menegakkan nya. Dimana posisi pemerintah yang seharusnya mengayomi dan
memberikan rasa keamanan dan kenyamanan dengan memberikan rasa keadilan kepada
rakyatnya?
Lantas dimana letak peran pemerintah
dengan kedua masalah yang sebelumnya saya tulis diatas, dunia pendidikan yang
saya representasikan oleh peran guru, dan dunia hukum yang saya wakili oleh
hakim sebagai puncak dari keputusan peradilan. Dan dimana posisi pemerintah
dalam melihat peran keluarga dan juga dampak dari sistem perekonomian yang kita
anut sekarang?
Pemerintah hanya terkesan lepas
tangan, pemerintah hanya mementingkan pencitraan jika dihubungkan dengan
situasi politik yang ada. Pemerintah kian hari hanya akan menambah pencitraan
bahwa mereka tidak mampu mengurusi negeri ini. Bagi-bagi kekuasaan demi jabatan
dan uang untuk pertarungan politik kelak masih kental terasa akhir-akhir ini. Coba
lihat betapa cepatnya Nazaruddin tertangkap, lalu kemana pemerintah ketika
masih banyak tersangka-tersangka koruptor lain yang masih bebas berkeliaran di
luar negeri ini. Kemana kasus-kasus hukum yang lama? Semua dengan cepat
tergantikan oleh berita-berita yang menghebohkan negeri ini, kian lama kian
terlihat bahwa pemerintah malah menciptakan kekacauan yang terstruktur dan
sistematis dengan jadwal yang sangat ketat untuk menciptakan anemia di tengah
masyarakatnya sendiri akan kasus kasus dan bahkan tugas utama pemerintah di
negeri ini yang sekarang memimpin dan akan segera berakhir di 2014 nanti.
Dan di akhir tulisan ini saya akan
memberitahukan siapa algojo dari pemerintah saat ini untuk membuat semua
program kekacauan nya berhasil. Bukan aparat, bukan agen rahasia bahkan bukan
pembunuh bayaran untuk membunuh musuh-musuh politik mereka. MEDIA, media adalah
senjata ampuh pemerintah saat ini, dengan terkesan seolah mengontrol pemerintah
dengan cara-cara pemberitaan mereka masing-masing. Satu persatu masalah besar di
negeri ini dilupakan oleh media dengan cara mencari berita-berita yang baru dan
jika dilihat ada yang terkesan dibuat-buat. Tidak ada lagi media seperti dahulu
di era soeharto yang berani menentang arus. Media saat ini rutin bergandeng tangan
dengan pemerintah dengan cara yang halus dan menurut cara mereka. Pada
akhirnya, masyarakat muak dengan negeri ini dan hanya mengurusi kehidupan
mereka sendiri tanpa sadar bahwa negeri ini hanya akan hancur dibawah kendali
pemerintah yang kerdil dan mengkerdilkan masyarakatnya sendiri.
Guru yang tidak lagi memberikan
proses menggugu dan meniru kepada muridnya, hakim yang tidak lagi memberikan
rasa adil hingga pemuka agama yang menjadi alat politik dan terpecah belah dari
umatnya. Semua tangan tuhan di dunia yang ada di negeri ini telah rusak dan
terkontaminasi. Apa solusinya? Apa pemecahan dari semua masalah ini? Jawab sendiri
saja ya . . . . . akupun bingung jawabnya huahahahahaha
Label:
guru,
indonesia,
media,
menuju 2014,
mui,
pengaruh media,
politik,
politik pra 2014,
ulama
Selasa, 31 Agustus 2010
Sinabung
Setelah kurang lebih empat abad lamanya gunung ini tertidur akhirnya beberapa hari belakangan ini mulai menampakkan gejala-gejala keaktifannya kembali. Gunung aktif yang dulu masih berstatus biasa-biasa saja sekarang telah menjadi gunung yang harus diawasi dan siaga selalu.
Gunung Sinabung terletak di wilayah kabupaten karo propinsi Sumatera Utara sekitar dua jam dari ibukota propinsi ini (Medan). Ada dua pucuk gunung yang terdapat di daerah ini, yaitu gunung Sibayak dan gunung Sinabung, kedua gunung ini masih dalam keadaan status aktif bahkan jika hanya dilihat oleh kasat mata (masih mengeluarkan gas belerang). Tetapi entah apa yang membuat pemerintah daerah setempat berlaku biasa dan tenang menyikapi hal ini, pemerintah terlihat kurang aktif dengan tidak adanya pos pemantau di daerah gunung aktif tersebut hingga turunnya tim dari pusat, dan bahkan daerah ini tidak memiliki badan penanggulangan bencananya sendiri dan terpaksa mengundang tim penanggulangan bencana provinsi.
Kekonyolan tidak hanya didapati di daerah saja, sehari sebelum gunung Sinabung mengeluarkan asap dan debu sebagai gejala awal dari meletusnya sebuah gunung berapi seorang staff ahli presiden malah mengabarkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari gejala-gejala yang ditunjukkan oleh gunung sinabung (asal bapak senang aja), mungkin alam sudah bosan akhirnya esok hari gunung Sinabung mengeluarkan asap dan muntahan debu menjulang tinggi ke langit (yang terakhir setinggi 2000 meter) dan dapat dipastikan mengganggu lalu lintas penerbangan udara di sekitar propinsi ini.
Masalah klasik yang muncul selanjutnya adalah masalah penanganan bencana yang selalu terkesan terlambat, karena saling lepas tanggung jawab pemerintah baik di daerah maupun pusat.
SEKIAN
Label:
alam,
bencana alam,
gunung berapi,
gunung merapi,
gunung sinabung,
lahar,
magma,
sinabung
Jumat, 20 Agustus 2010
65 Tahun Usianya
Selamat ulang tahun kepada negara ini saya ucapkan, 65 tahun kalau kita bandingkan kepada usia manusia saya rasa bukanlah usia untuk anak-anak lagi, tapi kalau kita membandingkan nya kepada kehidupan bernegara memang belum ada apa-apanya.
image from www.beritagar.com |
Telah 65 tahun usia proklamasi kemerdekaan negara ini ternyata, tidak terasa. dan 12 tahun pula usia reformasi yang membawa perubahan dan mengiringi pemerintahan yang ada saat ini. Skeptis nya adalah, merdekakah kita? kalau pun merdeka, dari apa? secara skeptis saya tetap memegang teguh pendirian bahwa saya belum merasa merdeka di negara ini, negara tempat saya lahrkan. Ok kalau kita sebut negara ini telah terbebas dari terbelenggu kolonialisme dengan segala kerugiannya, tetapi apa itu kolonialisme? bukankah kita saat ini sedang dalam masa kolonialisasi dalam segala bidang? ingat! baru sekarang kita membicarakan batik sebagai suatu warisan budaya dan mulai dibiasakan kembali untuk dipakai hanya sekedar membuat agar batik tetap eksis di negeri ini, membuatnya eksis setelah beberapa hasil budaya bangsa ini banyak yang telah diklaim oleh tetangga sendiri, yang notabene adalah saudara serumpun juga sebelum adanya periode bernegara seperti saat sekarang ini.
Lain masalah budaya lain pula masalah kaum muda bangsa ini, tahun ini begitu banyak kaum muda di negeri ini yang mengukir prestasi langsung di kancah internasional. Sebut saja tim olimpiade sains kita dengan prestasi imternasional nya, tetapi yang paling mencengangkan prestasi salah satu artis muda di negeri ini yang mengukir prestasi dengan video syur nya, prestasinya adalah; ia mampu memasuki headline beberapa surat kabar internasional, dan kabar beritanya salahsatu artis film syur paman sam merasa tertarik untuk menjadikan nya lawan main pada filmnya yang akan segera dibuat. Belum habis prestasi video syur, muncul lagi satu video, yakni video lypsinc duo maut dgn hits 'keong racun'. Bayangkan! hanya karena pemberitaan yang heboh di media masa dan dunia maya, duo lypsinc ini mendapatkan beasiswa belajar dari pemimpin daerahnya.
Serba miris membayangkan keadaan Indonesia saat ini,
Bayangkan, menjelang hari kemerdekaan negara ini 3 pejabat di dinas kelautan dan perikanan ditangkap patroli perbatasan negara tetangga Malaysia, menurut pihak negara ini mereka tidak melanggar batas sama sekali, yang menjadi pertanyaan jika tidak melanggar batas kenapa patroli perbatasan Malaysia bisa menangkap mereka dan tanpa perlawanan senjata sama sekali? yang lebih mengherankan, negosiasi masalah 3 pejabat tersebut akhirnya terpecahkan dengan menukar 3 pejabat negara ini dengan 7 orang nelayan yang mengambil ikan di daerah laut Indonesia (dengan kata lain pencuri). Pihak pemerintah mengatakan ini bukan barter tahanan, melainkan memperhatikan unsur kemanusiaan para nelayan yang melaksanakan puasa dan juga tidak adanya cukup bukti (kalau tidak ada cukup bukti kenapa bisa dilakukan penangkapan) nah lo . . .
Belum lagi jika kita membicarakan masalah kekerasan teroris di negara ini, menjelang puasa kemarin, salah satu ulama besar (Abu Bakar Ba'asyir) ditangkap untuk kesekian kalinya dengan alasan menjadi ketua dan penyandang dana salah satu kelompok teroris di negara ini. Ok Ba'asyir ditangkap, tapi apa pemerintah melihat disekolah-sekolah dan dikampus-kampus telah banyak pengkaderan untuk melahirkan suatu bentuk aliran keras dalam beragama yang dapat memunculkan teroris-teroris baru di negara ini? terlalu banyak yang menutup mata, bayangkan seorang ulama seperti Ba'asyir mampu membakar semangat jemaatnya dan lalu melakukan aktivitas untuk meneror pemerintahan di negara ini selama beberapa tahun belakangan ini (itu masih hasil analisa sementara). Sejatinya ia telah dihadapkan ke depan hukum dengan alasan subversif di era pemerintahan Soeharto dulu, sebelum dilakukan penahanan akhirnya ia berhasil lolos dan diketahui telah menjadi guru agama di negara tetangga Malaysia, disitulah ia bertemu individu-individu yang kelak menjadi pelaku teror di negeri ini dan kawasan asia tenggara lainnya. Letak kemirisan nya adalah mengapa ba'asyir dengan kasus hukumnya dahulu dapat masuk kembali ke negeri ini tanpa ada perhatian yang serius dari pemerintah, setelah muncul banyak kasus pemboman barulah ia ditangkap.
SEKIAN
Label:
65 tahun indonesia,
artis indonesia,
indonesia,
merdeka,
prestasi,
teroris
Langganan:
Postingan (Atom)