Tulisan ini
adalah reaksi pribadi saya atas munculnya kasus pelecehan seksual yang ada
akhir-akhir ini di lingkungan sekolah dengan sedikit pengalaman saya yang
pernah bekerja bersama beberapa tenaga pengajar asing di kota Medan.
https://www.min2tbalai.com |
Saya berusaha
untuk membahas secara umum dalam tulisan ini dimana saya akan berusaha untuk
mencari titik masalah sederhana yang sudah berada di dalam dunia pendidikan
kita hingga saat ini. Adapun mengenai munculnya kasus pelecehan seksual seperti
yang sedang marak di pemberitaan saat ini saya tidak akan membahasnya karena
menurut pendapat saya kasus seperti itu hanyalah dampak kecil dari
ketidakpedulian (atau dapat dikatakan acuh) pihak berwenang di dunia pendidikan
negeri ini terhadap hal yang menjadi masalah utama, yang saya juga akan
menyebut nya masalah yang sederhana karena menurut saya, untuk menyelesaikan
masalah ini bukanlah hal yang rumit.
Jauh kebelakang
jika kita melihat garis sejarah negeri ini, sekolah atau institusi pendidikan
pertama sekali yang resmi ada di negeri ini adalah sekolah yang didirikan atau
dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda (ELS atau HIS setara
Sekolah Dasar, HBS setara Sekolah
Menengah Pertama, MULO setara dengan
Sekolah Menengah Atas), dimana pada saat itu sekolah-sekolah ini didirikan
untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak para pejabat dan pekerja Belanda
ataupun keturunan Eropa lainnya yang sedang berada di negeri ini. Pada masa
pertama periode ini, pribumi yang dapat masuk ke sekolah-sekolah ini hanyalah
anak-anak raja, bupati ataupun pejabat pribumi yang paling tinggi pangkatnya.
Lalu bagaimana dengan pribumi yang berada di lapisan menengah ke bawah? Menurut
catatan yang ada sebenarnya kaum muslim di nusantara telah melakukan kegiatan
pendidikan jauh sebelum pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah mereka
di negeri ini, kaum muslim di negeri ini telah membuat semacam sekolah sederhana
yang berbasiskan agama, dimana seluruh kegiatannya dilakukan di langgar,
musholla dan mesjid, pada perkembangannya menjadi pondokan yang kita kenal
sebagai pesantren. Jadi secara tidak resmi, kaum muslim di Indonesia telah
mendahului mendirikan sekolah di negeri ini sebelum pemerintah kolonial
memikirkannya, hanya saja sekolah ini tidak bersifat resmi.
Bagaimana dengan
tenaga pengajarnya? Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda di negeri ini
pertama sekali mendatangkan tenaga pengajarnya langsung dari negeri Belanda
dengan tentu saja memiliki izin resmi untuk melakukan pengajaran dari
pemerintah Belanda kala itu, dan salah satu sekolah yang didirikan Belanda di
negeri ini diawal adalah sekolah keguruan (kweekschool)
yang akan menghasilkan tenaga-tenaga pengajar baru untuk selanjutnya menjadi
tenaga pengajar di negeri ini, jadi pemerintah Belanda tidak perlu lagi
mendatangkan tenaga pengajar jauh-jauh dari negeri Belanda yang tentu saja akan
memakan cost (biaya) yang sangat besar sekali. Untuk sekolah
yang berbasiskan agama seperti yang saya tulis sebelumnya, yang dilakukan
golongan muslim, mereka hanya akan mempercayakan anak-anak mereka diajarkan di
langgar, musholla ataupun mesjid oleh tenaga pendidik yang sudah pernah
melaksanakan ibadah terakhir dalam rukun islam yakni Haji atau setidaknya telah
khatam Qur’an dan tafsirnya, yang tentu saja kala itu Haji bukan saja gelar
yang menandakan bahwa seseorang sudah pernah pergi ke tanah suci, tetapi juga
orang-orang yang sudah menguasai seluruh isi kitab suci Al-Qur’an.
Kondisi seperti
diatas terus bertahan hingga masa pergerakan nasional dan masa periode
pendirian sekolah-sekolah nasional yang dilakukan oleh pribumi seperti yang
sudah sangat kita kenal salah satunya yakni Taman Siswa yang didirikan oleh
bapak pendidikan negeri Soewardi Soerjaningrat atau lebih kita kenal Ki Hadjar
Dewantara yang juga adalah menteri pendidikan pertama negeri ini. Pada masa itu
banyak putra-putri negeri ni yang sebelumnya telah mengenyam pendidikan di
sekolah kolonial mulai tergugah untuk menjadi tenaga pengajar bagi pribumi
menengah ke bawah yang tidak pernah merasakan pendidikan secara resmi kala itu.
Salah satu perkumpulan yang terkenal untuk ini selain Taman Siswa adalah
perkumpulan Budi Utomo, sebuah perkumpulan yang didirikan oleh pribumi-pribumi
yang bersekolah di sekolah kedokteran Belanda STOVIA. Pada saat ini izin atau
legalisasi untuk menjadi tenaga pengajar tidak lah menjadi penting lagi karena alasan
nasionalisme bangsa yang sedang dibangun untuk sebuah titik yaitu kemerdekaan.
Dari jaman ini juga lahir Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara,
Tjipto Mangunkusumo).
Berakhirnya
periode pergerakan nasional, masuklah kita pada masa revolusi hingga masa awal
kemerdekaan bangsa ini. Pada masa ini, Negara ini masih seperti bayi yang baru
lahir, semuanya dibangun dan ditata dari nol termasuk dunia pendidikan.
Sekolah-sekolah yang berdiri sebelum masa kemerdekaan mulai didata dan beberapa
dialihkan menjadi sekolah nasional (sekolah negeri) begitu juga dengan tenaga
pengajarnya, semua di data dan disertifikasi sebagai tenaga pengajar yang sah.
Tetapi upaya ini ternyata belum berdampak maksimal, karena ternyata kondisinya
adalah; begitu banyaknya anak-anak Indonesia yang ingin bersekolah kala itu
ditambah lagi Presiden kala itu menetapkan sebuah gerakan di dunia pendidikan
yakni “Pemberantasan Buta Aksara di
Seluruh Indonesia”. Banyaknya minat atas sekolah, ditambah lagi banyaknya
didirikan gedung-gedung sekolah baru di Indonesia ternyata tidak diiringi
dengan jumlah tenaga pengajar yang seimbang alias kurang. Kondisi inilah yang
menyebabkan akhirnya dibuat sebuah sistem sekolah keguruan dari tingkatan
sekolah menengah pertama (dahulu disebut
Sekolah Guru Bawah), sekolah menengah atas (dahulu disebut Sekolah Guru Atas) ada juga beberapa tingkatan
lainnya. Sistem ini menciptakan tenaga pengajar baru yang lebih terorientasi,
contoh untuk sekolah guru bawah; lulusannya sudah dapat menjadi pegawai negeri
sipil untuk mengajar di tingkatan sekolah dasar, begitu juga dengan sekolah
guru atas dimana lulusan nya langsung mengabdi sebagai pegawa negeri dan
mengajar untuk sekolah menengah pertama. Sistem ini berakhir sekitar tahun
1958-1959 seiring mulai terpenuhinya kebutuhan tenaga pengajar di negeri ini
kala itu.
Dari tiga masa
sejarah negeri ini yang berusaha saya ringkaskan diatas memperlihatkan bahwa
tiap-tiap masa memiliki permasalahan yang berbeda juga di dunia pendidikan kita
tetapi satu benang merah yang dapat kita tangkap adalah, semua tenaga pengajar
pada masa-masa yang saya jabarkan diatas adalah tenaga pengajar resmi baik
secara administratif hukum Negara maupun budaya dan mereka diakui secara sosial di tengah masyarakat adalah sebagai
guru atau tenaga pengajar. Mereka bukanlah orang-orang yang secara tiba-tiba
muncul lalu menasbihkan dirinya sebagai tenaga pengajar atau guru di tengah
masyarakat.
Sebelum saya
masuk pada tahap akhir di masa saat ini ada baiknya saya menyambung periode
sejarah pendidikan di Negara ini sehabis periode ’58-’59 tadi. Memasuki masa
‘60an dunia pendidikan kita telah mencapai posisi yang sangat gemilang sekali,
dimana bertumbuhnya sekolah-sekolah baru, semakin cemerlangnya dunia-dunia
kampus kala itu (ini juga didukung oleh banyaknya beasiswa yang dikucurkan
pemerintah kala itu atas bantuan luar negeri untuk putra-putri terbaik bangsa
ini). Pada masa-masa ini jugalah kita menjadi pengekspor tenaga-tenaga pengajar
handal untuk Asia Tenggara dimana Malaysia pada saat itu menjadi peminat
terbanyak atas tenaga-tenaga pengajar dari Indonesia untuk bekerja sebagai Guru
di negeri mereka. Dengan prestasi seperti itu tentu kita tidak perlu lagi
membahas bagaiamana bentuk psikologis tenaga-tenaga pengajar kita kala itu,
walaupun dari segi materi sebenarnya mereka tidaklah terlalu sejahtera bahkan
cenderung biasa saja, tetapi itu tidak pernah menjadi persoalan yang sangat
besar sekali kala itu. Kondisi cemerlang ini dapat dikatakan berlangsung lama
hingga memasuki tahun ‘90an.
Di awal ‘90an
pemerintah kala itu mulai fokus kembali dengan pendidikan dalam negeri dengan
mengusung pendidikan wajib 9 tahun yang berlanjut hingga 12 tahun.
Hingga sampai masa
reformasi terjadi perubahan dimana hampir seluruh IKIP (Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan) yang ada di seluruh Indonesia berubah status menjadi
Universitas dengan alasan pemerintah kala itu agar lulusannya lebih dapat
bersaing tidak hanya didunia pendidikan saja. Dari titik ini sebenarnya kita
sudah dipusingkan oleh ulah pemerintah, bagaimana seseorang yang memang
memasuki sebuah institut keguruan untuk menjadi guru malah disiapkan agar dapat
bersaing untuk tidak hanya menjadi guru. Jika diambil positinya tentu sangat
bagus sekali, tetapi apakah efektif? Jawabannya mungkin dapat kita lihat pada
saat undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ini dikeluarkan,
dimana intinya adalah; AKTA4 tidak berlaku sebagai syarat untuk menjadi tenaga
pengajar, sebagai gantinya maka diadakan program sertifikasi atau biasa kita
kenal sekarang PPG (Program Profesi Guru) dan PLPG (Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru).
Dalam bentuk
sederhananya mungkin dapat saya simpulkan seperti ini, program sertifikasi guru
yang menghapuskan AKTA4 sebagai satu-satunya surat resmi tenaga pengajar
dilepaskan untuk dapat menaungi banyaknya tenaga pengajar terutama di institusi
pendidikan swasta yang tidak memiliki AKTA4 hingga saat itu. Apakah ini solusi
terbaik? Bagi mayoritas tenaga pengajar ternyata keputusan ini dianggap sangat
baik, karena program ini menjamin adanya pendapatan tambahan yang berasal dari
kas Negara bagi guru-guru yang lulus program ini. Menurut pendapat dan
pengalaman saya, program ini malah menciptakan sebuah generasi tenaga pengajar
yang sangat materialistis dan melupakan unsur psikologis dari sebuah pengajaran,
dengan iming-iming adanya pendapatan tambahan tersebut beberapa kasus yang ada
malah guru menelantarkan kewajibannya di dalam kelas demi tercapainya
syarat-syarat administratif untuk lolos seleksi program ini. Memang setelah
lulus seleksi, guru-guru ini akan mendapatkan pendidikan lagi selama satu tahun
untuk dapat secara resmi memegang status guru tersertifikasi ini, tetapi
kondisi yang ada selama satu tahun mereka hanya diajarkan administratif menjadi
seorang tenaga pengajar dan minus pengajaran psikologi pendidikan. Sangat jauh
sekali dari kondisi untuk mendapatkan AKTA4, dimana selama 4 tahun mahasiswa
dididik untuk mendapatkannya.
Jika saya
bertanya kepada anda, lebih percaya mana anda pada guru yang telah dibina
selama 4 tahun bahkan lebih tanpa berpikir ada insentif bagi mereka daripada
seorang guru yang dididik satu tahun agar sah menjadi guru dan mendapatkan
insentif extra untuk itu? Jawabannya hanya kembali kepada anda.
Lalu kaitannya
dengan kondisi saat ini dan kasus pelecehan seksual apa? Maaf jika penjabaran
saya terlalu panjang tetapi diakhir ini saya hanya ingin mengutarakan bahwa
terlepas dilema yang kita alami dalam dunia pendidikan kita sendiri pasca
reformasi, ternyata dunia pendidikan kita juga telah dimasuki kalau boleh saya
katakana orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini terutama adalah
warga Negara asing. Apakah dengan munculnya kasus pelecehan seksual yang
terjadi belakangan ini membuat anda bertanya, apakah warga Negara asing yang mengajar
di Indonesia ini adalah benar-benar guru yang juga memiliki izin resmi dari
negaranya yang menyatakan bahwa dia adalah seorang guru, tidak usah kita
bermimpi negeri ini menyiapkan standarisasi tenaga pengajar asing di negeri
ini, saya rasa untuk sementara yang kita patut pertanyakan adalah apakah mereka
memang guru yang diakui di Negara asalnya? Untuk jawaban ini saya punya
pengalaman selama lebih tiga tahun di sebuah sekolah berstatus national plus di
kota medan dimana sekolah ini memiliki kurikulum internasional dan
menggabungkannya ke dalam kurikulum nasional (maka dari itu disebut national
plus) walaupun pada kenyataannya semuanya berjalan sendiri-sendiri.
Pengalaman
selama lebih dari tiga tahun membuat saya menyaksikan bagaimana hampir lebih
dari sepuluh orang tenaga pengajar asing disekolah tersebut adalah bukan
bersertifikasi layaknya guru di negeri ini, bahkan mirisnya dari semua yang ada
hanya satu orang saja yang bergelar master, selebihnya hanyalah diploma, dan
bahkan mayoritas dari mereka adalah diploma1 yang jika disetarakan, tidak lain
adalah lulusan sma saja. Dengan tidak memiliki sertifikasi untuk menjadi guru
pihak sekolah mempercayakan muridnya kepada orang-orang asing ini, yang kita
tahu sendiri dari segi budaya sangat berbeda sekali dengan kita (contoh kecil
adalah pakaian; pernah ada suatu kejadian di taman kanak-kanak sekolah ini,
seorang murid memegang payudara gurunya yang tenaga asing dan berkata milk,
milk, milk, hingga diketahui ternyata guru asing tersebut mengajar tanpa
menggunakan bra dan bahkan bajunya hampir dalam keadaan terbuka di bagian
dadanya). Alih-alih saya mempertanyakan sertifikasi mereka sebagai seorang
guru, ternyata saya mendapati fakta bahwa mereka semua tidak memiliki visa sebagai
seorang pekerja/tenaga pengajar di sini, beberapa kasus jika sekolah mengadakan
event secara umum beberapa tenaga asing tersebut malah bersembunyi ketakutan
jika ada pihak imigrasi yang mengetahui keberadaan mereka.
Saya berharap
ini hanya terjadi pada sekolah tempat saya pernah mengajar dahulu yang mungkin
hanya berstatus national plus dan tidak terjadi pada sekolah yang memang
bertaraf internasional seperti tempat terjadinya kasus pelecehan seksual itu
terjadi. Tetapi tetap kita harus mempertanyakan keabsahan secara resmi mengenai
status-status tenaga asing yang menjadi pengajar di Negara kita ini, karena
pada mereka kita titipkan generasi penerus bangsa kita. AKTA4 dan sertifikasi
mungkin hal yang sangat membingungkan bagi masyarakat awam, tetapi intinya
seorang tenaga pengajar harus memiliki psikologi pendidikan yang baik dan harus
didukung juga oleh moral dan etika yang baik pula. Kita juga harus berkaca pada
pengalaman negeri ini, bagaimana mungkin bangsa belanda yang dahulu menjajah
kita mampu mengirimkan guru-guru terbaik kita untuk mengajar di negeri ini,
hingga masa-masa dimana kita menjadi pengimpor tenaga pengajar di wilayah Asia
Tenggara, lalu saat ini kita malah memiliki warga Negara asing menjadi tenaga
pengajar dan tidak memiliki keabsahan sebagai tenaga pengajar. Saya harap
tulisan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kita tentang sejarah dan
kondisi dunia kependidikan kita saat ini.
SEKIAN