Sabtu, 26 April 2014

LIHAT! Betapa Mudahnya Menjadi Guru Saat Ini.

Tulisan ini adalah reaksi pribadi saya atas munculnya kasus pelecehan seksual yang ada akhir-akhir ini di lingkungan sekolah dengan sedikit pengalaman saya yang pernah bekerja bersama beberapa tenaga pengajar asing di kota Medan.
https://www.min2tbalai.com

Saya berusaha untuk membahas secara umum dalam tulisan ini dimana saya akan berusaha untuk mencari titik masalah sederhana yang sudah berada di dalam dunia pendidikan kita hingga saat ini. Adapun mengenai munculnya kasus pelecehan seksual seperti yang sedang marak di pemberitaan saat ini saya tidak akan membahasnya karena menurut pendapat saya kasus seperti itu hanyalah dampak kecil dari ketidakpedulian (atau dapat dikatakan acuh) pihak berwenang di dunia pendidikan negeri ini terhadap hal yang menjadi masalah utama, yang saya juga akan menyebut nya masalah yang sederhana karena menurut saya, untuk menyelesaikan masalah ini bukanlah hal yang rumit.

Jauh kebelakang jika kita melihat garis sejarah negeri ini, sekolah atau institusi pendidikan pertama sekali yang resmi ada di negeri ini adalah sekolah yang didirikan atau dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda (ELS atau HIS setara Sekolah Dasar, HBS setara Sekolah Menengah Pertama, MULO setara dengan Sekolah Menengah Atas), dimana pada saat itu sekolah-sekolah ini didirikan untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak para pejabat dan pekerja Belanda ataupun keturunan Eropa lainnya yang sedang berada di negeri ini. Pada masa pertama periode ini, pribumi yang dapat masuk ke sekolah-sekolah ini hanyalah anak-anak raja, bupati ataupun pejabat pribumi yang paling tinggi pangkatnya. Lalu bagaimana dengan pribumi yang berada di lapisan menengah ke bawah? Menurut catatan yang ada sebenarnya kaum muslim di nusantara telah melakukan kegiatan pendidikan jauh sebelum pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah mereka di negeri ini, kaum muslim di negeri ini telah membuat semacam sekolah sederhana yang berbasiskan agama, dimana seluruh kegiatannya dilakukan di langgar, musholla dan mesjid, pada perkembangannya menjadi pondokan yang kita kenal sebagai pesantren. Jadi secara tidak resmi, kaum muslim di Indonesia telah mendahului mendirikan sekolah di negeri ini sebelum pemerintah kolonial memikirkannya, hanya saja sekolah ini tidak bersifat resmi.

Bagaimana dengan tenaga pengajarnya? Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda di negeri ini pertama sekali mendatangkan tenaga pengajarnya langsung dari negeri Belanda dengan tentu saja memiliki izin resmi untuk melakukan pengajaran dari pemerintah Belanda kala itu, dan salah satu sekolah yang didirikan Belanda di negeri ini diawal adalah sekolah keguruan (kweekschool) yang akan menghasilkan tenaga-tenaga pengajar baru untuk selanjutnya menjadi tenaga pengajar di negeri ini, jadi pemerintah Belanda tidak perlu lagi mendatangkan tenaga pengajar jauh-jauh dari negeri Belanda yang tentu saja akan memakan cost (biaya) yang sangat besar sekali. Untuk sekolah yang berbasiskan agama seperti yang saya tulis sebelumnya, yang dilakukan golongan muslim, mereka hanya akan mempercayakan anak-anak mereka diajarkan di langgar, musholla ataupun mesjid oleh tenaga pendidik yang sudah pernah melaksanakan ibadah terakhir dalam rukun islam yakni Haji atau setidaknya telah khatam Qur’an dan tafsirnya, yang tentu saja kala itu Haji bukan saja gelar yang menandakan bahwa seseorang sudah pernah pergi ke tanah suci, tetapi juga orang-orang yang sudah menguasai seluruh isi kitab suci Al-Qur’an.

Kondisi seperti diatas terus bertahan hingga masa pergerakan nasional dan masa periode pendirian sekolah-sekolah nasional yang dilakukan oleh pribumi seperti yang sudah sangat kita kenal salah satunya yakni Taman Siswa yang didirikan oleh bapak pendidikan negeri Soewardi Soerjaningrat atau lebih kita kenal Ki Hadjar Dewantara yang juga adalah menteri pendidikan pertama negeri ini. Pada masa itu banyak putra-putri negeri ni yang sebelumnya telah mengenyam pendidikan di sekolah kolonial mulai tergugah untuk menjadi tenaga pengajar bagi pribumi menengah ke bawah yang tidak pernah merasakan pendidikan secara resmi kala itu. Salah satu perkumpulan yang terkenal untuk ini selain Taman Siswa adalah perkumpulan Budi Utomo, sebuah perkumpulan yang didirikan oleh pribumi-pribumi yang bersekolah di sekolah kedokteran Belanda STOVIA. Pada saat ini izin atau legalisasi untuk menjadi tenaga pengajar tidak lah menjadi penting lagi karena alasan nasionalisme bangsa yang sedang dibangun untuk sebuah titik yaitu kemerdekaan. Dari jaman ini juga lahir Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo).

Berakhirnya periode pergerakan nasional, masuklah kita pada masa revolusi hingga masa awal kemerdekaan bangsa ini. Pada masa ini, Negara ini masih seperti bayi yang baru lahir, semuanya dibangun dan ditata dari nol termasuk dunia pendidikan. Sekolah-sekolah yang berdiri sebelum masa kemerdekaan mulai didata dan beberapa dialihkan menjadi sekolah nasional (sekolah negeri) begitu juga dengan tenaga pengajarnya, semua di data dan disertifikasi sebagai tenaga pengajar yang sah. Tetapi upaya ini ternyata belum berdampak maksimal, karena ternyata kondisinya adalah; begitu banyaknya anak-anak Indonesia yang ingin bersekolah kala itu ditambah lagi Presiden kala itu menetapkan sebuah gerakan di dunia pendidikan yakni “Pemberantasan Buta Aksara di Seluruh Indonesia”. Banyaknya minat atas sekolah, ditambah lagi banyaknya didirikan gedung-gedung sekolah baru di Indonesia ternyata tidak diiringi dengan jumlah tenaga pengajar yang seimbang alias kurang. Kondisi inilah yang menyebabkan akhirnya dibuat sebuah sistem sekolah keguruan dari tingkatan sekolah menengah pertama (dahulu disebut Sekolah Guru Bawah), sekolah menengah atas (dahulu disebut Sekolah Guru Atas) ada juga beberapa tingkatan lainnya. Sistem ini menciptakan tenaga pengajar baru yang lebih terorientasi, contoh untuk sekolah guru bawah; lulusannya sudah dapat menjadi pegawai negeri sipil untuk mengajar di tingkatan sekolah dasar, begitu juga dengan sekolah guru atas dimana lulusan nya langsung mengabdi sebagai pegawa negeri dan mengajar untuk sekolah menengah pertama. Sistem ini berakhir sekitar tahun 1958-1959 seiring mulai terpenuhinya kebutuhan tenaga pengajar di negeri ini kala itu.

Dari tiga masa sejarah negeri ini yang berusaha saya ringkaskan diatas memperlihatkan bahwa tiap-tiap masa memiliki permasalahan yang berbeda juga di dunia pendidikan kita tetapi satu benang merah yang dapat kita tangkap adalah, semua tenaga pengajar pada masa-masa yang saya jabarkan diatas adalah tenaga pengajar resmi baik secara administratif hukum Negara maupun budaya dan mereka diakui secara  sosial di tengah masyarakat adalah sebagai guru atau tenaga pengajar. Mereka bukanlah orang-orang yang secara tiba-tiba muncul lalu menasbihkan dirinya sebagai tenaga pengajar atau guru di tengah masyarakat.

Sebelum saya masuk pada tahap akhir di masa saat ini ada baiknya saya menyambung periode sejarah pendidikan di Negara ini sehabis periode ’58-’59 tadi. Memasuki masa ‘60an dunia pendidikan kita telah mencapai posisi yang sangat gemilang sekali, dimana bertumbuhnya sekolah-sekolah baru, semakin cemerlangnya dunia-dunia kampus kala itu (ini juga didukung oleh banyaknya beasiswa yang dikucurkan pemerintah kala itu atas bantuan luar negeri untuk putra-putri terbaik bangsa ini). Pada masa-masa ini jugalah kita menjadi pengekspor tenaga-tenaga pengajar handal untuk Asia Tenggara dimana Malaysia pada saat itu menjadi peminat terbanyak atas tenaga-tenaga pengajar dari Indonesia untuk bekerja sebagai Guru di negeri mereka. Dengan prestasi seperti itu tentu kita tidak perlu lagi membahas bagaiamana bentuk psikologis tenaga-tenaga pengajar kita kala itu, walaupun dari segi materi sebenarnya mereka tidaklah terlalu sejahtera bahkan cenderung biasa saja, tetapi itu tidak pernah menjadi persoalan yang sangat besar sekali kala itu. Kondisi cemerlang ini dapat dikatakan berlangsung lama hingga memasuki tahun ‘90an.

Di awal ‘90an pemerintah kala itu mulai fokus kembali dengan pendidikan dalam negeri dengan mengusung pendidikan wajib 9 tahun yang berlanjut hingga 12 tahun.

Hingga sampai masa reformasi terjadi perubahan dimana hampir seluruh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang ada di seluruh Indonesia berubah status menjadi Universitas dengan alasan pemerintah kala itu agar lulusannya lebih dapat bersaing tidak hanya didunia pendidikan saja. Dari titik ini sebenarnya kita sudah dipusingkan oleh ulah pemerintah, bagaimana seseorang yang memang memasuki sebuah institut keguruan untuk menjadi guru malah disiapkan agar dapat bersaing untuk tidak hanya menjadi guru. Jika diambil positinya tentu sangat bagus sekali, tetapi apakah efektif? Jawabannya mungkin dapat kita lihat pada saat undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ini dikeluarkan, dimana intinya adalah; AKTA4 tidak berlaku sebagai syarat untuk menjadi tenaga pengajar, sebagai gantinya maka diadakan program sertifikasi atau biasa kita kenal sekarang PPG (Program Profesi Guru) dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru).

Dalam bentuk sederhananya mungkin dapat saya simpulkan seperti ini, program sertifikasi guru yang menghapuskan AKTA4 sebagai satu-satunya surat resmi tenaga pengajar dilepaskan untuk dapat menaungi banyaknya tenaga pengajar terutama di institusi pendidikan swasta yang tidak memiliki AKTA4 hingga saat itu. Apakah ini solusi terbaik? Bagi mayoritas tenaga pengajar ternyata keputusan ini dianggap sangat baik, karena program ini menjamin adanya pendapatan tambahan yang berasal dari kas Negara bagi guru-guru yang lulus program ini. Menurut pendapat dan pengalaman saya, program ini malah menciptakan sebuah generasi tenaga pengajar yang sangat materialistis dan melupakan unsur psikologis dari sebuah pengajaran, dengan iming-iming adanya pendapatan tambahan tersebut beberapa kasus yang ada malah guru menelantarkan kewajibannya di dalam kelas demi tercapainya syarat-syarat administratif untuk lolos seleksi program ini. Memang setelah lulus seleksi, guru-guru ini akan mendapatkan pendidikan lagi selama satu tahun untuk dapat secara resmi memegang status guru tersertifikasi ini, tetapi kondisi yang ada selama satu tahun mereka hanya diajarkan administratif menjadi seorang tenaga pengajar dan minus pengajaran psikologi pendidikan. Sangat jauh sekali dari kondisi untuk mendapatkan AKTA4, dimana selama 4 tahun mahasiswa dididik untuk mendapatkannya.

Jika saya bertanya kepada anda, lebih percaya mana anda pada guru yang telah dibina selama 4 tahun bahkan lebih tanpa berpikir ada insentif bagi mereka daripada seorang guru yang dididik satu tahun agar sah menjadi guru dan mendapatkan insentif extra untuk itu? Jawabannya hanya kembali kepada anda.

Lalu kaitannya dengan kondisi saat ini dan kasus pelecehan seksual apa? Maaf jika penjabaran saya terlalu panjang tetapi diakhir ini saya hanya ingin mengutarakan bahwa terlepas dilema yang kita alami dalam dunia pendidikan kita sendiri pasca reformasi, ternyata dunia pendidikan kita juga telah dimasuki kalau boleh saya katakana orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini terutama adalah warga Negara asing. Apakah dengan munculnya kasus pelecehan seksual yang terjadi belakangan ini membuat anda bertanya, apakah warga Negara asing yang mengajar di Indonesia ini adalah benar-benar guru yang juga memiliki izin resmi dari negaranya yang menyatakan bahwa dia adalah seorang guru, tidak usah kita bermimpi negeri ini menyiapkan standarisasi tenaga pengajar asing di negeri ini, saya rasa untuk sementara yang kita patut pertanyakan adalah apakah mereka memang guru yang diakui di Negara asalnya? Untuk jawaban ini saya punya pengalaman selama lebih tiga tahun di sebuah sekolah berstatus national plus di kota medan dimana sekolah ini memiliki kurikulum internasional dan menggabungkannya ke dalam kurikulum nasional (maka dari itu disebut national plus) walaupun pada kenyataannya semuanya berjalan sendiri-sendiri.

Pengalaman selama lebih dari tiga tahun membuat saya menyaksikan bagaimana hampir lebih dari sepuluh orang tenaga pengajar asing disekolah tersebut adalah bukan bersertifikasi layaknya guru di negeri ini, bahkan mirisnya dari semua yang ada hanya satu orang saja yang bergelar master, selebihnya hanyalah diploma, dan bahkan mayoritas dari mereka adalah diploma1 yang jika disetarakan, tidak lain adalah lulusan sma saja. Dengan tidak memiliki sertifikasi untuk menjadi guru pihak sekolah mempercayakan muridnya kepada orang-orang asing ini, yang kita tahu sendiri dari segi budaya sangat berbeda sekali dengan kita (contoh kecil adalah pakaian; pernah ada suatu kejadian di taman kanak-kanak sekolah ini, seorang murid memegang payudara gurunya yang tenaga asing dan berkata milk, milk, milk, hingga diketahui ternyata guru asing tersebut mengajar tanpa menggunakan bra dan bahkan bajunya hampir dalam keadaan terbuka di bagian dadanya). Alih-alih saya mempertanyakan sertifikasi mereka sebagai seorang guru, ternyata saya mendapati fakta bahwa mereka semua tidak memiliki visa sebagai seorang pekerja/tenaga pengajar di sini, beberapa kasus jika sekolah mengadakan event secara umum beberapa tenaga asing tersebut malah bersembunyi ketakutan jika ada pihak imigrasi yang mengetahui keberadaan mereka.

Saya berharap ini hanya terjadi pada sekolah tempat saya pernah mengajar dahulu yang mungkin hanya berstatus national plus dan tidak terjadi pada sekolah yang memang bertaraf internasional seperti tempat terjadinya kasus pelecehan seksual itu terjadi. Tetapi tetap kita harus mempertanyakan keabsahan secara resmi mengenai status-status tenaga asing yang menjadi pengajar di Negara kita ini, karena pada mereka kita titipkan generasi penerus bangsa kita. AKTA4 dan sertifikasi mungkin hal yang sangat membingungkan bagi masyarakat awam, tetapi intinya seorang tenaga pengajar harus memiliki psikologi pendidikan yang baik dan harus didukung juga oleh moral dan etika yang baik pula. Kita juga harus berkaca pada pengalaman negeri ini, bagaimana mungkin bangsa belanda yang dahulu menjajah kita mampu mengirimkan guru-guru terbaik kita untuk mengajar di negeri ini, hingga masa-masa dimana kita menjadi pengimpor tenaga pengajar di wilayah Asia Tenggara, lalu saat ini kita malah memiliki warga Negara asing menjadi tenaga pengajar dan tidak memiliki keabsahan sebagai tenaga pengajar. Saya harap tulisan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kita tentang sejarah dan kondisi dunia kependidikan kita saat ini.


SEKIAN