Senin, 30 Januari 2012

Media & Politik

Media bukan lagi tempat melihat, membaca dan mendengar tentang kebenaran tampaknya. Media sudah benar-benar ikut dalam kelimpungan yang dihadapi negeri ini. Media bukan lagi pencerah, seperti halnya ketika Guttenberg menciptakan mesin cetak pertama kali dan mengawali masa Renaissance di eropa kala itu.

Media kita saat ini sudah seragam, dan semakin telanjang mata dalam melakukan penyeragaman terhadap masalah-masalah yang tidak krusial seperti yang sebenarnya banyak terjadi di negeri ini. Media juga menjadi alat penyerang terhadap kelompok-kelompok tertnentu. Ini dapat terjadi semata karena media juga telah dikuasai oleh orang atau sekelompok orang yang tidak lagi memperhatikan fungsi dasar dari media terhadap masyarakat dan negara ini.

Dua paragraf di atas adalah tulisan saya pada januari 2012, dan ini saya tambahkan sedikit sesuai dengan perkembangan yang terjadi saat ini di Indonesia sekaligus saya akan merubah judul dari tulisan ini.

Sedikit jauh ke belakang, semangat Guttenberg ketika menciptakan alat cetak tulisan massal adalah bagaimana pemikiran yang kala itu dikekang oleh tirani bernama Vatikan dapat terbebaskan dan bangsa Eropa mampu berpikir sesuai kemampuannya masing-masing dan tidak dibatasi oleh doktrin lagi. Semangat ini juga lah yang menjadi salah satu penyebab lahirnya gerakan Renaissance di Eropa. Dengan kata lain dapat saya simpulkan, media adalah wadah kemerdekaan berpikir dari para pemikir.

Masih segar di ingatan kita mungkin situasi menjelang pemilihan legislatif 9 April kemarin, media khususnya televisi jika kita telaah baik-baik tidak menjalankan fungsinya lagi sebagai pemberi informasi yang umum dan aktual, media berubah menjadi sarana promosi politik untuk sebuah acara bernama PEMILU, salah? tentu tidak, karena ternyata dalam peraturan KPU No.15 tahun 2013 tentang perubahan peraturan KPU No.1 tahun 2013 mengenai pedoman pemilihan anggota DPD, DPRD dan DPR media memang boleh melaksanakan kampanye dari partai-partai politik yang ikut PEMILU. Tetapi dalam peraturan itu juga diatur jelas mengenai tatacara yang adil dalam melaksanakan nya, contoh; bahwa kepala pemerintahan hingga bawahan nya yang terkait dikatakan tidak boleh menjadi tokoh dalam sebuah iklan layanan masyarakat selama 6 (enam) bulan sebelum PEMILU legislatif diadakan. Dan masih merujuk pada peraturan ini juga, dikatakan bahwa fungsi pengawasan media pada saat kampanye diserahkan kepada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.

Apakah semua peraturan tadi berjalan dengan baik?
Coba ingat bagaimana iklan kampanye politik dari partai penguasa kemarin, yang seluruh isi kampanyenya adalah program kebijakan pemerintah yang diplesetkan seolah menjadi kebijakan partai tersebut di dalam pemerintahan. Dalam peraturan KPU tadi mungkin ini tidak melanggar sanksi, tetapi ketika diakhir muncul pemimpin negara yang tidak lain adalah ketua umum partai tersebut mengajak masyarakat untuk memilih partainya, apakah secara etika anda tidak bertanya? Layakkah atau tidak, meskipun perundang-undangan tidak mengatakannya sebagai sebuah pelanggaran.

Untuk contoh kasus lain menurut saya adalah adanya distorsi fungsi media yang dilakukan pemilik media yang juga menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dari partainya.
Kita pasti sudah tahu siapa-siapa saja mereka, yang sangat kontras sekali dan akan saya angkat disini tanpa ada unsur memihak adalah pemilik grup MNC yang menjadi calon wakil presiden dari partai HANURA. Pada saat sebelum pemilihan legislatif dilaksanakan pasangan ini menjadi tokoh yang selalu seliweran pada tiap-tiap program media yang ditayangkan oleh grup MNC, baik itu dari acara berita (news), debat politik, gosip bahkan hingga ke tayangan hiburan seperti acara musik dan sinetron. Bahkan skenario sinetron Tukang Bubur Naik Haji saat itu sekonyong berubah hingga muncul pasangan calon presiden dan calon wakilnya dari partai HANURA tersebut. Fungsi media yang semestinya melakukan pemberitaan adil, hiburan yang memang bentuknya menghibur akhirnya terdistorsi tanpa disadari menjadi tayangan kampanye politik terselubung. Walaupun ternyata pada hasil hitung cepat kemarin partai tersebut menjadi partai kedua terendah dan kemungkinan akan terdiskualifikasi.

Dari kejadian demi kejadian tersebut dapat kita lihat bagaimana dampak buruk dari kepemilikan media dalam bentuk bersama atau lazim disebut grup. Media yang seharusnya menjadi sumber informasi terpercaya untuk publik berubah menjadi corong politik dari tokoh dan partai-partai politik yang ada. Karena hampir mayoritas bisnis media yang ada di Indonesia ternyata dimiliki oleh tokoh-tokoh politik negeri ini.

Mengutip pendapat dan hasil riset dari William L. Rivers - Jay W. Jensen - Theodore Peterson pada buku mereka yang sudah disadur ke dalam bahasa Indonesia "MEDIA MASSA dan MASYARAKAT MODERN" pada edisi kedua ini mereka mengatakan bahwa kebebasan pers bukanlah hal yang menjadi tujuan sebenarnya dalam bernegara atau berdemokrasi melainkan kebebasan publik mendapatkan informasi lah yang harus menjadi supremasi dalam bernegara khususnya berdemokrasi. Jika kebebasan pers menjadi tujuan, maka tirani media lah yang terbentuk menjadi otoritas resmi informasi, sebaliknya, jika kebebasan publik mendapatkan informasi yang menjadi tujuan, maka cita-cita bernegara dalam bentuk demokrasi akan dapat terwujud dengan rakyat atau publik menjadi penguasanya. Bukankah filsafat tua demokrasi mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan?

SEKIAN.