-->
Judulnya nanti saja, lagi tidak
terlintas di benak ini, mungkin setelah titik terakhir dari tulisan ini akan
muncul ide, apa judul dari tulisan ini.
Inti dari tulisan ini tetap
pada rasa muak saya akan apa yang dialami negeri ini. Setelah hampir usai
periode kedua dari kepemimpinan beliau atas negeri ini, bukan malah kemajuan
yang dialami negeri ini, yang ada malah kehancuran yang menerus. Dari mata yang
mampu melihat, kuping yang mampu mendengar dan hati yang hampir kehilangan
nurani ini aku ingin membunuh para pemimpin di negeri ini yang ku anggap
menjadi racun dan bakteri penyakit atas kerusakan semua ini. Tidak ada lagi yang
dapat diselamatkan dari negeri ini bagiku, guru yang dulu mulia tanpa tanda
jasanya, hakim yang dulu seperti dewa satu tingkat di bawah tuhan, bahkan
pemuka agama yang hanya sejengkal berjarak dengan nabi dan tuhan, sekarang
sudah terjangkit penyakit kronis.
Guru sudah tidak mampu memberi
praktik bagi muridnya untuk menggugu dan menirukan apa yang positif untuk
diberikan kepada mereka. Guru sekarang hanya subjek yang mampu memerankan
kehedonisan akan perannya sebagai manusia. Mencari duniawi lebih dominan
dilakukan para pahlawan pendidikan ini sekarang. Lebih banyak guru yang hanya
mampu memberikan ke-stresan kepada anak-anak muridnya sekarang yang kelak
kedepan nya akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika guru tak mampu lagi
memberikan proses menggugu dan menirukan hal yang positif untuk pembelajaran,
lantas pada siapa murid-murid itu kelak akan mendapatkan proses tersebut.
Kembali ke dalam rumah, keluarga juga
mayoritas sekarang hanya memberikan pelajaran akan pentingnya materi diatas
segalanya. Keluarga di negeri ini hanya mampu bertopang dagu kepada guru dan
institusinya untuk dapat menciptakan anak-anak yang berbakti dan berguna bagi
mereka kelak. Tanpa sadar akan keteladanan dalam keluarga lah yang mampu
menjadi dasar akan tingkah laku anak-anak di negeri ini. Seperti pepatah, air
cucuran takkan jatuh jauh dari atapnya. Apa yang diharapkan seorang ayah
koruptor kepada anaknya kelak? Menjadi ustadz? Wowww . . . mungkin ada yang
seperti itu, tetapi tentunya dengan tidak meminjam tauladan ayahnya sudah
pasti.
Lantas apa kabarnya para pemuka agama
di negeri ini? Hmmmm 11-12 menurut istilah di pasaran, sama rusaknya. Tidak pantas
sebenarnya saya mengklaim kerusakan para pemuka agama di negeri ini, tetapi at least saya tidak munafik dengan
ikut-ikutan memuji-muji kerusakan yang disebabkan oleh para pemuka agama ini. Sudah
tidak kasat mata lagi banyak sekali terjadi permasalahan di negeri ini yang
disebabkan oleh ulah para pemuka agama yang demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya rela menjual agama yang notabene adalah milik tuhan. Muslim sebagai
mayoritas penghuni negeri ini adalah salah satu contoh yang factual atas tulisan saya ini. Muslim yang
dahulu ketika pada era Soeharto sangat diawasi dengan membuat banyak
badan-badan yang seolah mengayomi mereka tetapi pada kenyataannya hanyalah alat
untuk mengendalikan kemayoritasan umat muslim yang banyak dan beragam. Pendirian
MUI sebagai majelis yang menaungi seluruh aliran yang ada pada umat muslim di
negeri ini pada era Soeharto hanyalah sebuah wadah untuk menyeragamkan suara
dan kesepakatan sekaligus sebagai alat propaganda pemerintah kala itu untuk
melancarkan kekuasaannya dari jalur politik, dimana sebagai agama mayoritas
umat muslim tentunya sangat strategis sebagai suara-suara politik, jika dapat
dikendalikan akan menjadi senjata ampuh, sebaliknya jika tidak dapat
dikendalikan maka umat muslim akan menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah
kala itu.
Coba lihat beberapa kejadian factual akhir-akhir ini, penetapan hari
raya idul fitri yang sejatinya harus dilakukan pemerintah melalui badan-badan
yang berwenang di dalamnya terkesan malah mengombang-ambingkan umat diantara
kebimbangan. Belum lagi banyaknya ormas-ormas yang mengatasnamakan umat muslim
yang rutin melakukan sweeping dan
tindakan pembersihan yang bertentangan dengan syariat umat muslim. Kerutinan mereka
melakukan tindakannya yang selalu dibarengi dengan kekerasan akhirnya hanya
mencerminkan bahwa muslim adalah agama yang identik dengan kekerasan untuk
menegakkan nya. Dimana posisi pemerintah yang seharusnya mengayomi dan
memberikan rasa keamanan dan kenyamanan dengan memberikan rasa keadilan kepada
rakyatnya?
Lantas dimana letak peran pemerintah
dengan kedua masalah yang sebelumnya saya tulis diatas, dunia pendidikan yang
saya representasikan oleh peran guru, dan dunia hukum yang saya wakili oleh
hakim sebagai puncak dari keputusan peradilan. Dan dimana posisi pemerintah
dalam melihat peran keluarga dan juga dampak dari sistem perekonomian yang kita
anut sekarang?
Pemerintah hanya terkesan lepas
tangan, pemerintah hanya mementingkan pencitraan jika dihubungkan dengan
situasi politik yang ada. Pemerintah kian hari hanya akan menambah pencitraan
bahwa mereka tidak mampu mengurusi negeri ini. Bagi-bagi kekuasaan demi jabatan
dan uang untuk pertarungan politik kelak masih kental terasa akhir-akhir ini. Coba
lihat betapa cepatnya Nazaruddin tertangkap, lalu kemana pemerintah ketika
masih banyak tersangka-tersangka koruptor lain yang masih bebas berkeliaran di
luar negeri ini. Kemana kasus-kasus hukum yang lama? Semua dengan cepat
tergantikan oleh berita-berita yang menghebohkan negeri ini, kian lama kian
terlihat bahwa pemerintah malah menciptakan kekacauan yang terstruktur dan
sistematis dengan jadwal yang sangat ketat untuk menciptakan anemia di tengah
masyarakatnya sendiri akan kasus kasus dan bahkan tugas utama pemerintah di
negeri ini yang sekarang memimpin dan akan segera berakhir di 2014 nanti.
Dan di akhir tulisan ini saya akan
memberitahukan siapa algojo dari pemerintah saat ini untuk membuat semua
program kekacauan nya berhasil. Bukan aparat, bukan agen rahasia bahkan bukan
pembunuh bayaran untuk membunuh musuh-musuh politik mereka. MEDIA, media adalah
senjata ampuh pemerintah saat ini, dengan terkesan seolah mengontrol pemerintah
dengan cara-cara pemberitaan mereka masing-masing. Satu persatu masalah besar di
negeri ini dilupakan oleh media dengan cara mencari berita-berita yang baru dan
jika dilihat ada yang terkesan dibuat-buat. Tidak ada lagi media seperti dahulu
di era soeharto yang berani menentang arus. Media saat ini rutin bergandeng tangan
dengan pemerintah dengan cara yang halus dan menurut cara mereka. Pada
akhirnya, masyarakat muak dengan negeri ini dan hanya mengurusi kehidupan
mereka sendiri tanpa sadar bahwa negeri ini hanya akan hancur dibawah kendali
pemerintah yang kerdil dan mengkerdilkan masyarakatnya sendiri.
Guru yang tidak lagi memberikan
proses menggugu dan meniru kepada muridnya, hakim yang tidak lagi memberikan
rasa adil hingga pemuka agama yang menjadi alat politik dan terpecah belah dari
umatnya. Semua tangan tuhan di dunia yang ada di negeri ini telah rusak dan
terkontaminasi. Apa solusinya? Apa pemecahan dari semua masalah ini? Jawab sendiri
saja ya . . . . . akupun bingung jawabnya huahahahahaha
MEDIA harus diwaspadai sebagai 'corong utama' yang berteriak lantang tentang suatu hal yang deviant, terkadang benar namun pada suatu masa juga salah sehingga konklusi sikap terhadap media 'anggaplah media sebagai hiburan (!) tidak lebih dan tidak kurang !'.
BalasHapusGuru atau apapun namanya, sangat sulit mencari ditengah perkembangan zaman ini sehingga muncul guru-guru-an yang sering menodai citra guru sesungguhnya, begitu juga pemimpin negara yang mengaku sebagai pemimpin umat (?).