Kamis, 08 September 2011

tangan-tangan tuhan yang terkontaminasi (semua dengan huruf kecil)


-->
Judulnya nanti saja, lagi tidak terlintas di benak ini, mungkin setelah titik terakhir dari tulisan ini akan muncul ide, apa judul dari tulisan ini.
Inti dari tulisan ini tetap pada rasa muak saya akan apa yang dialami negeri ini. Setelah hampir usai periode kedua dari kepemimpinan beliau atas negeri ini, bukan malah kemajuan yang dialami negeri ini, yang ada malah kehancuran yang menerus. Dari mata yang mampu melihat, kuping yang mampu mendengar dan hati yang hampir kehilangan nurani ini aku ingin membunuh para pemimpin di negeri ini yang ku anggap menjadi racun dan bakteri penyakit atas kerusakan semua ini. Tidak ada lagi yang dapat diselamatkan dari negeri ini bagiku, guru yang dulu mulia tanpa tanda jasanya, hakim yang dulu seperti dewa satu tingkat di bawah tuhan, bahkan pemuka agama yang hanya sejengkal berjarak dengan nabi dan tuhan, sekarang sudah terjangkit penyakit kronis.
Guru sudah tidak mampu memberi praktik bagi muridnya untuk menggugu dan menirukan apa yang positif untuk diberikan kepada mereka. Guru sekarang hanya subjek yang mampu memerankan kehedonisan akan perannya sebagai manusia. Mencari duniawi lebih dominan dilakukan para pahlawan pendidikan ini sekarang. Lebih banyak guru yang hanya mampu memberikan ke-stresan kepada anak-anak muridnya sekarang yang kelak kedepan nya akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika guru tak mampu lagi memberikan proses menggugu dan menirukan hal yang positif untuk pembelajaran, lantas pada siapa murid-murid itu kelak akan mendapatkan proses tersebut.
Kembali ke dalam rumah, keluarga juga mayoritas sekarang hanya memberikan pelajaran akan pentingnya materi diatas segalanya. Keluarga di negeri ini hanya mampu bertopang dagu kepada guru dan institusinya untuk dapat menciptakan anak-anak yang berbakti dan berguna bagi mereka kelak. Tanpa sadar akan keteladanan dalam keluarga lah yang mampu menjadi dasar akan tingkah laku anak-anak di negeri ini. Seperti pepatah, air cucuran takkan jatuh jauh dari atapnya. Apa yang diharapkan seorang ayah koruptor kepada anaknya kelak? Menjadi ustadz? Wowww . . . mungkin ada yang seperti itu, tetapi tentunya dengan tidak meminjam tauladan ayahnya sudah pasti.
Lantas apa kabarnya para pemuka agama di negeri ini? Hmmmm 11-12 menurut istilah di pasaran, sama rusaknya. Tidak pantas sebenarnya saya mengklaim kerusakan para pemuka agama di negeri ini, tetapi at least saya tidak munafik dengan ikut-ikutan memuji-muji kerusakan yang disebabkan oleh para pemuka agama ini. Sudah tidak kasat mata lagi banyak sekali terjadi permasalahan di negeri ini yang disebabkan oleh ulah para pemuka agama yang demi kepentingan pribadi dan kelompoknya rela menjual agama yang notabene adalah milik tuhan. Muslim sebagai mayoritas penghuni negeri ini adalah salah satu contoh yang factual atas tulisan saya ini. Muslim yang dahulu ketika pada era Soeharto sangat diawasi dengan membuat banyak badan-badan yang seolah mengayomi mereka tetapi pada kenyataannya hanyalah alat untuk mengendalikan kemayoritasan umat muslim yang banyak dan beragam. Pendirian MUI sebagai majelis yang menaungi seluruh aliran yang ada pada umat muslim di negeri ini pada era Soeharto hanyalah sebuah wadah untuk menyeragamkan suara dan kesepakatan sekaligus sebagai alat propaganda pemerintah kala itu untuk melancarkan kekuasaannya dari jalur politik, dimana sebagai agama mayoritas umat muslim tentunya sangat strategis sebagai suara-suara politik, jika dapat dikendalikan akan menjadi senjata ampuh, sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan maka umat muslim akan menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah kala itu.
Coba lihat beberapa kejadian factual akhir-akhir ini, penetapan hari raya idul fitri yang sejatinya harus dilakukan pemerintah melalui badan-badan yang berwenang di dalamnya terkesan malah mengombang-ambingkan umat diantara kebimbangan. Belum lagi banyaknya ormas-ormas yang mengatasnamakan umat muslim yang rutin melakukan sweeping dan tindakan pembersihan yang bertentangan dengan syariat umat muslim. Kerutinan mereka melakukan tindakannya yang selalu dibarengi dengan kekerasan akhirnya hanya mencerminkan bahwa muslim adalah agama yang identik dengan kekerasan untuk menegakkan nya. Dimana posisi pemerintah yang seharusnya mengayomi dan memberikan rasa keamanan dan kenyamanan dengan memberikan rasa keadilan kepada rakyatnya?
Lantas dimana letak peran pemerintah dengan kedua masalah yang sebelumnya saya tulis diatas, dunia pendidikan yang saya representasikan oleh peran guru, dan dunia hukum yang saya wakili oleh hakim sebagai puncak dari keputusan peradilan. Dan dimana posisi pemerintah dalam melihat peran keluarga dan juga dampak dari sistem perekonomian yang kita anut sekarang?
Pemerintah hanya terkesan lepas tangan, pemerintah hanya mementingkan pencitraan jika dihubungkan dengan situasi politik yang ada. Pemerintah kian hari hanya akan menambah pencitraan bahwa mereka tidak mampu mengurusi negeri ini. Bagi-bagi kekuasaan demi jabatan dan uang untuk pertarungan politik kelak masih kental terasa akhir-akhir ini. Coba lihat betapa cepatnya Nazaruddin tertangkap, lalu kemana pemerintah ketika masih banyak tersangka-tersangka koruptor lain yang masih bebas berkeliaran di luar negeri ini. Kemana kasus-kasus hukum yang lama? Semua dengan cepat tergantikan oleh berita-berita yang menghebohkan negeri ini, kian lama kian terlihat bahwa pemerintah malah menciptakan kekacauan yang terstruktur dan sistematis dengan jadwal yang sangat ketat untuk menciptakan anemia di tengah masyarakatnya sendiri akan kasus kasus dan bahkan tugas utama pemerintah di negeri ini yang sekarang memimpin dan akan segera berakhir di 2014 nanti.
Dan di akhir tulisan ini saya akan memberitahukan siapa algojo dari pemerintah saat ini untuk membuat semua program kekacauan nya berhasil. Bukan aparat, bukan agen rahasia bahkan bukan pembunuh bayaran untuk membunuh musuh-musuh politik mereka. MEDIA, media adalah senjata ampuh pemerintah saat ini, dengan terkesan seolah mengontrol pemerintah dengan cara-cara pemberitaan mereka masing-masing. Satu persatu masalah besar di negeri ini dilupakan oleh media dengan cara mencari berita-berita yang baru dan jika dilihat ada yang terkesan dibuat-buat. Tidak ada lagi media seperti dahulu di era soeharto yang berani menentang arus. Media saat ini rutin bergandeng tangan dengan pemerintah dengan cara yang halus dan menurut cara mereka. Pada akhirnya, masyarakat muak dengan negeri ini dan hanya mengurusi kehidupan mereka sendiri tanpa sadar bahwa negeri ini hanya akan hancur dibawah kendali pemerintah yang kerdil dan mengkerdilkan masyarakatnya sendiri.
Guru yang tidak lagi memberikan proses menggugu dan meniru kepada muridnya, hakim yang tidak lagi memberikan rasa adil hingga pemuka agama yang menjadi alat politik dan terpecah belah dari umatnya. Semua tangan tuhan di dunia yang ada di negeri ini telah rusak dan terkontaminasi. Apa solusinya? Apa pemecahan dari semua masalah ini? Jawab sendiri saja ya . . . . . akupun bingung jawabnya huahahahahaha

1 komentar:

  1. MEDIA harus diwaspadai sebagai 'corong utama' yang berteriak lantang tentang suatu hal yang deviant, terkadang benar namun pada suatu masa juga salah sehingga konklusi sikap terhadap media 'anggaplah media sebagai hiburan (!) tidak lebih dan tidak kurang !'.
    Guru atau apapun namanya, sangat sulit mencari ditengah perkembangan zaman ini sehingga muncul guru-guru-an yang sering menodai citra guru sesungguhnya, begitu juga pemimpin negara yang mengaku sebagai pemimpin umat (?).

    BalasHapus